Kamis, 23 Maret 2017

Megibung dan Mundut, Menyatukan kita dalam semangat kebersamaan



Guru bijak pernah bertutur.... Sering konflik terjadi karena kurang harmonisnya koordinasi dan komunikasi di antara kita. Dan, salah satu hal yang bisa membantu mengatasi permasalahan ini adalah dengan makan bareng, menjalin hubungan indah di antara kita.
 
 
Leluhur kita sudah semenjak dahulu mengembangkan beragam bentuk, fungsi dan makna dalam rupa kearifan lokal (indigenous wisdom). 
 
 
Mengapa kita sebaiknya duduk bersama menikmati hidangan ? Karena hal ini mengajarkan kita semua, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, di mata Tuhan kita adalah sama. Dan hidangan yang ada bisa dibagi rata, dibagi sama. Terlepas dari ada yang suka atau tidak atas hidangan yang tersedia, namun apa yang ada, buah hasil kerja kita, dinikmati bersama pula. Hal ini hadir pada semua budaya di seantero nusantara, bahkan seluruh pelosok dunia. Salah satunya, pada budaya masyarakat Bali, yang dikenal dengan istilah Megibung.
 
 
 
Mengapa kita seharusnya menjaga dan memelihara serta mengembangkan pusaka leluhur kita? Karena hal ini memperlihatkan bahwa kita mencintai budaya sendiri, menghargai perjuangan leluhur dalam kehidupan, dan, kita belajar dari semangat perjuangan tersebut, untuk tidak gampang menyerah bila menghadapi problema atau situasi yang tidak menyenangkan. Dan, salah satunya, hadir dalam bentuk Mundut pada budaya masyarakat Bali. Suatu proses dimana kita menyungsung, menjunjung pretima, berbagai simbol dan benda pusaka yang disakralkan, untuk disucikan dan diupacarai pada setiap hari raya tertentu.
 
 

Salah satu contoh bentuk, fungsi dan makna mundut yang berkembang di saat Piodalan pada Anggarakasih Julungwangi, Selasa, 21 Maret 2017, di Banjar Kapit, Desa Nyalian, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, Propinsi Bali. Sehari sebelum hari raya suci berlangsung, pretima dijunjung oleh anggota keluarga yang hadir di sanggah dadia, pura keluarga, dibawa berkeliling di dalam pura, searah jarum jam. Dan, sehari setelah hari raya suci berlangsung, kembali pretima dijunjung oleh anggota keluarga yang hadir di sanggah dadia.
 
Dan, setelah rangkaian kegiatan selama seminggu menjelang hingga berakhirnya Piodalan Sanggah Dadia, seluruh anggota keluarga yang hadir, berkumpul bersama untuk Megibung, makan bersama, menikmati Prani, hidangan yang disajikan bagi Tuhan, Dewa, dan para leluhur keluarga, di hari Rabunya, Buda, sehari setelah Anggarakasih Julungwangi. Sebelum akhirnya keluarga kembali bubar, ke rumah masing-masing, di kota masing-masing, dengan beragam aktivitas masing-masing pula, untuk berkumpul kembali enam bulan kemudian, seminggu menjelang hari raya Piodalan.
 
 
 
Sudah tentu, banyaknya suku yang ada menentukan pula corak dan ragam bentuk budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Di samping semua hal tersebut, dinamika perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat yang menyungsung dan menjunjung budaya juga ikut menentukan arah dan bentuk, fungsi serta makna budaya yang berkembang, terkait ruang tempat, gerak dan waktu yang terjadi kemudian. 
 
 
 
Namun, suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai budaya leluhur, sebagai suatu bentuk menghargai diri sendiri, mampu memelihara dengan baik beragam peninggalan leluhur, dan mengembangkan peninggalan leluhur tersebut sehingga sesuai dengan semangat kekinian yang berlaku di tengah-tengah masyarakat pada bangsa tersebut.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar