Minggu, 26 Maret 2017

Melasti / Melis / Mekiyis





Melasti atau Melis, Mekiyis, merupakan rangkaian prosesi dari Upacara Tawur Kesanga. Tawur Kesanga adalah Upacara yang dilakukan umat Hindu dalam rangka menyambut Hari Raya Suci Nyepi. Dan tahun ini pergantian tahun Saka 1938 menuju 1939. Pretima maupun berbagai bentuk, simbol, lambang yang dikeramatkan atau disungsung umat Hindu dibersihkan, diletakkan dalam jempana atau tempat bagi beragam pretima, kemudian diarak menuju sungai, danau, atau pantai.

I Gusti Made Darmaweda menjelaskan bahwa Tawur Kesanga memiliki makna filosofis dimana kita membersihkan diri dari sifat ego yang melekat, membayar atau mengembalikan sifat hakiki sebagaimana mestinya seorang umat, terlepas dari keserakahan. Dan Tawur Kesanga berlangsung pada Sasih Kesanga dari 12 sasih yang ada.

Masing-masing Desa Adat memiliki awig-awig, perarem, atau peraturan yang ditetapkan berdasar kebiasaan semenjak leluhur maupun kebijakan yang ditetapkan masyarakat di daerah tersebut. Dan Desa Adat Kerobokan, Kuta, melaksakan Melasti terkait Upacara Tawur Kesanga tahun ini pada hari Sabtu, Saniscara Wage Kliwon Julungwangi, 25 Maret 2017. Melasti diadakan di pantai Petitenget, Seminyak.

Bendesa Adat Kerobokan, Anak Agung Putu Sutarja, menjelaskan bahwa terkait Melasti, Desa Adat Kerobokan tidak dapat terpisahkan dari Desa Adat Padang Sambian dan Desa Adat Padang Luwih. Melasti ketiga Desa Adat tersebut selalu dilaksanakan pada saat yang bersamaan. Kebijakan ini sudah berlangsung semenjak nenek moyang, dan merupakan kearifan lokal (indigenous wisdom) yang sekaligus juga bermakna ikatan historis bahwa kita tidak akan pernah berdiri sendiri dalam menjalani kehidupan ini.



Prosesi Melasti bagi ketiga Desa Adat ini diawali dengan kegiatan melakukan Pesamuan Hidangan, atau sesaji bagi para Dewa, Leluhur, Tuhan. Dimana Desa Adat Kerobokan bertugas mempersiapkan dan membuat sarana upakara Pesamuan, Desa Adat Padang Luwih bertugas membawa hewan ternak seperti ayam dan itik, anak babi, dan Desa Adat Padang Sambian bertugas mempersiapkan, membuat dan mengusung banten sesajian loloan. http://koranjuri.com/desa-adat-kerobokan-gelar-pelaksanaan-melasti-di-pantai-petitenget/ . Dari ketiga Desa Adat tersebut, Desa Adat Kerobokan memiliki jumlah pura terbanyak, yakni 400 pura.

I Gusti Made Darmaweda juga menguraikan bahwa di dalam kehidupan, manusia selalu mengambil, menyerap sumber-sumber alam untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dikenal sebagai KARMA WASANA https://www.facebook.com/darmaweda .

Perbuatan MENGAMBIL, perlu dimbangi dengan perbuatan MEMBERI, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan, agar KARMA WASANA agar hidup menjadi harmonis atau seimbang. Hal ini berarti TAWUR KESANGA bermakna KESEIMBANGAN JIWA, dimana manusia membersihkan diri dan lingkungan. 


Nilai ini yang terkandung dan perlu ditanamkan serta dikembangkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka, sehingga kita memperoleh nilai kesadaran dan toleransi, yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Karena dengan menghargai leluhur, melestarikan ajaran leluhur dan mengembangkan dalam hidup, kita menghargai diri sendiri, juga menghargai orang lain yang ada di sekitar kita. Hal ini yang mampu membuat kita terhindar dari konflik, dan dijadikan pedoman dalam mengantisipasi permasalahan yang timbul.

Sebelum berlakunya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, istilah yang digunakan adalah istilah “desa adat” sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986. Pasal 1 Perda 06 Tahun 1986 menyatakan bahwa:

Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Daerah Tingkat I Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang mempunya wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.


Secara formal, istilah desa pakraman pertama kali digunakan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2001. Dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan pengertian desa pakraman sebagai berikut:

Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Sumber Referensi :



R. Soepomo, 2001, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Pradnya Paramita., Jakarta.

Van Dijk, 1979, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, hal. 18.

I Ketut Sudantra, 2001, Pola Penyelesaian Persoalan-persoalan Hukum Hukum Oleh Desa Adat”. Dinamika Kebudayaan III. Lembaga Penelitian Universitas Udayana, Denpasar.

Tim Peneliti Pusat Studi Hukum Adat Unud., op.cit., hal. 24.

I Ketut Sudantra, 1999, ”Formalisasi Forum Komunkasi Antar Desa Adat dalam Kontek Penyelesaian Persoalan-persoalan Hukum yang Dihadapi Desa Adat”, Kertha Patrika No.72 Th.XXIV. Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Tjok Istri Putra Astiti, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar