Minggu, 26 Maret 2017

Trance : Jalan Spiritual atau Sakit Jiwa ??




Ada kejadian yang kadang terjadi tanpa dapat dipahami logika..... Seseorang dianggap kemasukan roh halus, berbicara, bersikap, seperti bukan dirinya sendiri. Namun inilah fenomena budaya, dimana manusia dengan segala tradisi, ritual, agama, spiritual, simbol, lambang, berbagai bentuk, fungsi dan makna berbalur jadi satu.... 
 
Trance : kelinggihan, kerawuhan, atau kesurupan ? @ Petitenget kala Melasti, Saniscara Wage Julungwangi, Sabtu 25 Maret 2017 .
 
 
Ada yang menggambarkan, trance merupakan sebuah peristiwa dimana roh yang berasal dari dunia lain, leluhur atau dewa, datang hadir di tengah-tengah sekelompok orang, dan menyampaikan pesan. Ada pendapat lain yang menjelaskan bahwa trance sebenarnya merupakan suatu situasi yang dialami oleh orang yang mengalami waham atau delusi, maka ini termasuk sakit jiwa.
 
 
Namun, bagiku sendiri. apa pun itu, kapanpun terjadinya, siapa pun yang sedang mengalaminya, trance bisa terjadi dimana pun dan kapanpun. Ini merupakan urusan pribadi orang tersebut, dan melibatkan orang-orang yang ada di sekelilingnya saat itu. Dan, orang-orang yang alami trance adalah orang-orang dengan fenomena spiritual, yang sudah seharusnya memberikan manfaat spiritual pula bagi orang lain yang ada pada lingkungannya. Orang-orang pilihan, yang dipanggil oleh Tuhan, untuk menjadi teladan, menebarkan kedamaian bagi lingkungan..... Lalu, siapa saja yang bisa alami trance? Ya kita semua.... karena kita semua adalah orang-orang pilihan, yang dipanggil oleh Tuhan....
 
 

Puluhan Jempana dan ratusan Pretima di arak oleh masyarakat Hindu penyungsungnya, diiringi oleh suara gamelan Gong, Kidung suci yang dinyanyikan atau dilantunkan. Perjalanan Melasti berawal dari berbagai pura di daerah Desa Adat Kerobokan menuju Pantai Petitenget, Seminyak. 
 
Berjalan di sepanjang belasan kilometer dari Pura menuju Pantai, kemudian beragam Pretima ditempatkan bersama di Pura Desa Kerobokan, inilah indigenous wisdom, kearifan luhur yang telah diwariskan turun temurun oleh nenek moyang. Makna yang terkandung di baliknya adalah bahwa kita belajar menghargai budaya sendiri, budaya orang lain, memelihara toleransi dalam menjalin hidup bersama dengan orang lain,, menguji kesabaran lahir dan batin, menyucikan pikiran kita, menjaga sikap dan penampilan untuk senantiasa berada di jalan Tuhan. 
 
 
 
Hmmm, benar kata pepatah. Bila ingin dihargai, kita harus menghargai diri sendiri, budaya kita sendiri, dan tidak membiarkan orang lain meremehkan diri kita. Ini semua adalah jalan pilihan hidup. Kusebut ini sebagai jalan pilihan hidup. Sekecil apapun yadnya, dan, dengan segala macam cara yang kita bisa dan mampu, untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa...... 
 
Budaya hanya akan berjalan dan berkembang bila ada masyarakat penjunjung dan penyungsung budaya itu sendiri. Dan, melasti atau melis, adalah bagian dari komponen budaya. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita semua adalah bagian dari struktur atau sistematika yang berkembang di tengah masyarakat 
 
 
 
Dengan melasti masyarakat berharap dapat membersihkan diri, menyucikan beragam benda suci, memelihara kesakralan pretima dan beragam simbol atau perlambang yang disucikan oleh masyarakat. Dengan melasti masyarakat bersiap menyambut hari raya Nyepi, Tahun Baru Saka. Dengan melasti masyarakat berharap agar di tahun yang akan datang mereka akan menjadi semakin bijak dan shantih.... 
 
 
 
Cinta lah yang akan membawa kita pada Tuhan, bersimpuh berkali-kali, meski tak pernah bisa selalu sama..... hadir dalam berbagai cara, sederhana, dengan gaya kita masing-masing. Memohon agar selalu dibimbing di dalam cinta Tuhan.... Petitenget kala Melasti, Saniscara Wage Julungwangi, Sabtu 25 Maret 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar