Jumat, 08 Maret 2019

Life Tree, Song of Ancestor, Sacred Sites, Mandala Wisata Samuan Tiga, 23 Februari 2019




Sabtu 23 Februari 2019 di Open Stage Mandala Wisata Samuan Tiga Desa Bedahulu Gianyar. Open Day untuk Lokakarya Life Tree, Song of Ancestor: The Art of Moving in Sacred Sites. “Datanglah, ibu Santi, bila ada waktu dan berkenan untuk hadir. Ada acara bagus, kita diskusi bersama, menikmati pentas seni, bersama Prapto Suryodarmo dari Padepokan Lemah Putih, Solo. Juga Ajahn Jutindharo, Kepala Vihara Hartrigde, UK, dan para sahabat lain”. Ujar seorang sahabat, Ibu Diane Butler. 


Peserta lokakarya berasal dari kalangan teater Bali, Jawa Timur, Lampung. Juga para karyasiswa dan seniman dari ISI Denpasar, empat karyasiswa program studi S3 doktoral Kajian Budaya Universitas Udayana. Peserta lokakarya tidak hanya dari Indonesia, namun juga Jerman, Spanyol, Meksiko, Cina, AS. Mereka akan mempresentasikan penampilan dan karya singkat dari berbagai kolaborasi kelompok seni masing-masing daerah.


Tema Lokakarya kali ini adalah : Penciptaan Nilai Budaya dalam Kebersamaan dan Kerukunan. Dengan bentuk Lokakarya, Srawung Seni, Diskusi dan Penampilan Karya Seni.


Para seniman yang menyajikan karyaseni antara lain adalah Teater Kalangan (Bali), Ibed Surgana Yuga (Bali), Alexander Gebe (Sumatra), Agus Wiratama (Bali), Dayat (Banyuwangi), Riwanto Tirto Sudarmo (Jakarta), Claudine Merkel (Jerman), Rudolf Berlekamp (Jerman), Ana Zapata (Meksiko), Moon Hu (Cina), Liang Doris Chen (Cina), Siwen Bo (Cina), Qin Hui Jin (Cina), Xin Yu Niu (Cina), Hong Ge Yu (Cina), Alba Sagarra (Spanyol), Diane Butler (USA), Koyano Tetsuro & Naoka (Jepang), Tebo Aumbara (Bali), Juan Pereyra (Argentina), Tina & Jonathan Bailey (Narwastu Art Community Bali), Blanka (Spanyol).


Diskusi santai tentang seni disampaikan oleh empat karyasiswa program studi doktoral, Luh Putu Sri Ariyani (Undiksha), Komang Adi Sastra Wijaya (UNUD), Ida Sri Wayan Budra (Pasraman Tunjung Putih), Gene Ginaya (Poltek Negeri Bali).


Ibu Diane Butler menjelaskan bahwa penampilan seni dan diskusi seni, khususnya seni teatrikal ini sengaja memilih suatu situs bersejarah, cagar budaya purbakala, tempat yang dianggap suci dan keramat, sebagai suatu bentuk karya nyata, dalam memaknai situs sacral yang dapat menginspirasi, menjadi sumber kreativitas beragam karya seni, melahirkan semangat menghargai karya luhur budaya suatu bangsa, terkait dengan hubungan terhadap berbagai komponen kehidupan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan, Sang Pencipta Kehidupan.

Banyak orang yang terkadang tidak mampu memahami lingkungan sekitar, tidak dapat menghormati sesama umat manusia, bahkan cenderung meremehkan cagar budaya. Hadir pada berbagai situs budaya, mencoba memahami rasa yang mengalir masuk ke dalam jiwa, bersatu dengan alam, dan mampu melahirkan berbagai karya seni akan membuat kita belajar berempati, belajar menghargai orang lain, belajar menghormati karya luhur suatu peradaban dari suatu bangsa. Karena tidak mudah menjalin suatu kerjasama, berkolaborasi dengan orang lain, apalagi yang berbeda latar belakang sosial dan budaya, dari berbagai belahan dunia.

Pemilihan situs budaya yang merupakan cagar purbakala Samuan Tiga sebagai tempat pentas seni sungguh tepat. Karena Pura Samuan Tiga ini merupakan titik awal bersatunya Bali yang dahulu sempat terpecah belah menjadi banyak sekte atau aliran.

Literatur sejarah Bali kuno menguraikan pemberian nama Samuan Tiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting musyawarah berbagai tokoh pada masa Bali Kuna. Pelaksanaan musyawarah para tokoh di Bali pada masa pemerintahan raja suami-istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 – 1011 Masehi.

Menurut Goris, pada masa itu di Bali berkembang kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang berkembang pada masa itu. Sekte-sekte tersebut adalah Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewi tertentu sebagai istadewata (Dewa Utama) dengan simbol tertentu. Penganut setiap sekte berkeyakinan bahwa istadewata merekalah yang paling utama di antara dewa yang lain. Keyakinan sektarian itu mengakibatkan benturan konflik dan ketegangan antar-sekte. Hal ini berpengaruh terhadap stabilitas kerajaan dan masyarakat.

Menyadari hal itu, raja suami-istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha mengatasinya dengan mengundang tokoh-tokoh spiritual dari Bali dan Jawa Timur (Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur) untuk mencari jalan keluar gejolak antar-sekte ini.

Pada waktu itu di Jawa Timur ada lima pendeta bersaudara. Ke-lima pendeta bersaudara tersebut kerap dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Mereka adalah Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bharadah. Empat di antara kelima pendeta tersebut didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu:

1. Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999 M) ber parhyangan di Besakih.
2. Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000 M) ber parhyangan di Gelgel.
3. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001 M) berparhyangan di Silayukti, Padangbai.
4. Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006 M) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Bisbis).

Mpu Kuturan yang berpengalaman sebagai kepala pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Girah, oleh Gunapriyadharmapatni diangkatlah beliau sebagai senapati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran I jro Makabehan.

Melalui posisi yang dipegang itu, Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran kerajaan. Pada masa itu, setiap kerajaan di Bali memiliki tiga pura utama: Pura Gunung, Pura Penataran (di pusat kerajaan) dan Pura Segara (laut). Musyawarah tersebut berhasil menyatukan semua sekte untuk penerapan konsepsi Tri Murti yaitu kesatuan tiga manisfestasi Tuhan (Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa) dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Konsepsi "three in one" ini (aryapengalasan) berlaku di seluruh Bali dan menghapuskan dominasi satu sekte terhadap sekte lainnya, meskipun belakangan sekte Siwa Sidhanta yang tampil dominan. Penyatuan ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Mpu Kuturan di Jawa dengan mendirikan Candi Loro Jonggrang (Prambanan) yang memuja Dewa Brahma, Wisnu dan Ciwa.

Untuk memperingati peristiwa penting tersebut maka tempat dimana terjadi musyawarah tersebut, yakni Pura Penataran kerajaan tersebut, diberi nama Pura Samuantiga.

Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiga yakni Pura Desa (Brahma), Pura Puseh (Wisnu) dan Pura Dalem (Siwa) pada setiap desa. Bagi setiap keluarga, diterapkan pembangunan Sanggar Kamulan Rong Tiga (tempat pemujaan dengan tiga pintu).

Ini yang menjadi pitenget bagi siapapun, bahwasanya, harmoni akan tercipta bila didasari dengan niat tulus dalam diri setiap umat manusia, pemahaman mendalam terhadap latar belakang sejarah, saling menghargai satu sama lain,dan aplikasi nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Karena setiap orang memiliki peranan dan fungsi nya masing-masing yang akan saling melengkapi satu sama lain. Pemimpin, pengusaha, penguasa, tokoh masyarakat, pemuka agama, petani, nelayan, guru, seniman, budayawan, guru dan murid, ibu rumah tangga. Semua sama penting dan mulianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar