Jumat, 08 Maret 2019

Melasti, Tawur Kesanga, Nyepi, dan Damai di Hati



Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani (Oleh karenanya, usahakan kesejahteraan semua makhluk, saling mengasihi satu sama lainnya). Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng dharma, artha kama moksha (Karena kesejahteraan setiap mahluk menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha)

Apa yang membuat umat manusia melakukan berbagai upacara disertai beragam upakara, menyucikan diri berkali-kali ? Apa yang mendasari begitu kuatnya keyakinan spiritual dan religi meski terkadang tanpa bukti dan di luar daya nalar manusia ? Mungkinkah hanya doa, cinta, dan kepercayaan yang tertanam di hati ? Menghargai upacara yang telah berlangsung semenjak leluhur, menghormati agama sendiri, menjalin semangat kebersamaan di antara mereka semua.



Nyepi berasal dari kata sepi (hening, sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit (Wikipedia).

Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.


Melasti adalah salah satu rangkaian dari upacara Tawur Kesanga, dalam perayaan Nyepi bagi umat Hindu. Perjalanan panjang yang ditempuh umat Hindu dalam proses melasti, mekiyis, melis, tiga atau dua hari sebelum hari raya Nyepi, merupakan simbol penyucian lahir dan batin, buana alit (manusia) dan buana agung (alam semesta) dimana beragam sarana persembahyangan, benda pusaka / pretima diarak menuju sungai, danau atau laut yang dianggap sebagai sumber tirtha amertha untuk disucikan.

Lontar Sundarigama menguraikan Melasti dengan : Manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata. Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara. Artinya: Manusia melaksanakan serangkaian aktivitas upacara mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-tengah samudra. Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia.

Beragam benda pusaka, sarana upacara dan upakara, pretima, diarak menuju sungai, danau dan laut untuk disucikan. Jika dahulu beragam benda sakral tersebut diarak dengan meletakkannya di atas kepala, dengan ditandu oleh beberapa orang, pada era modern ini beragam benda sakral tersebut diletakkan pada jolly, juli, atau jempana, yang diberi roda di bagian bawahnya, sehingga memudahkan untuk membawa menuju ke tempat yang dituju. Kemudian arakan berjalan perlahan, dari Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem, menuju sungai, danau, atau laut, untuk menjalani prosesi penyucian, dan kemudian kembali ke Pura Desa, berstana di sana hingga sehari setelah hari raya Nyepi.


Tua & muda, berbaur bersama, memaknai dan melakoni rangkaian upacara melasti..... karena kita adalah sama di mata Nya, meski dengan sejuta warna dalam corak dan ragam. Melasti adalah : nganyudang malaning gumi ngamet Tirta Amerta,  atau menghanyutkan kekotoran alam menggunakan air kehidupan. Laut sebagai simbol sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, Pemuteran Mandaragiri). Ritual dilaksanakan selambat - lambatnya pada tilem sore, pemelastian harus sudah selesai secara keseluruhan, dan pratima yang disucikan sudah harus berada di bale agung. 

Manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas.....

Tawur Kesanga adalah salah satu dari sekian banyak aktivitas dalam memaknai kehidupan & memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan. Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar.

Sekitar 300 an juli / jempana / kereta beroda sebagai sarana membawa beragam benda sakral, bergerak dari masing-masing Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem yang ada di Desa Pekraman Kerobokan, menuju ke pantai Petitenget.

Tujuan dari upacara ini adalah untuk penyucian diri. Dalam upacara Melasti menurut Lontar Sunarigama dan Sang Hyang Aji Swamandala ada empat hal yang dipesankan dalam upacara Melasti tersebut.
  1. Pertama untuk mengingatkan umat agar meningkatkan terus baktinya kepada Tuhan (ngiring parwatek dewata).
  2. Kedua peningkatan bakti itu untuk membangun kepedulian agar dengan aktif melakukan pengentasan penderitaan hidup bersama dalam masyarakat (anganyutaken laraning jagat).
  3. Ketiga untuk membangun sikap hidup yang peduli dengan penderitaan hidup bersama itu harus melakukan upaya untuk menguatkan diri dengan membersihkan kekotoran rohani diri sendiri (anganyut aken papa klesa).
  4. Keempat dengan bersama-sama menjaga kelestarian alam ini (anganyut aken letuhan bhuwana).
Dengan ribuan umat Hindu selaku pemedek / penyungsung, yang mengiringi beragam benda sakral dari pura masing-masing, terkadang ada yang mengalami trance / kesurupan.


Trance... Hmm, perlu berhati menyikapi hal ini. Beberapa pakar hypnosis menyatakan bahwa trance adalah suatu situasi dan kondisi seseorang yang menyerupai tidur. Hal ini bisa dibuktikan dari gelombang otak yang terekam. Sementara yang lain mengatakan, mereka sepenuhnya sadar, dan bisa tetap mengendalikan diri mereka.  Adakalanya trance dikaitkan dengan dunia gaib, mistik, ilmu hitam. Adapula yg beranggapan trance merupakan suatu bentuk komunikasi verbal dan non verbal dari alam lain, entah itu leluhur, para dewa, butha kala. Sebagai satu dari sekian pertanda / cihna / ciri / fenomena kehadiran dewata / leluhur.


Beragam pandangan ini, apapun itu, siapapun, dimanapun, dan, dengan cara bagaimanapun, semoga hadir dengan situasi positif yang bisa membawa ke arah semakin baik, dari hari ke hari. Hidup sudah susah dan rumit, maka akan jauh lebih indah dan mudah bila semua berjalan lancar demi kebaikan buana alit & buana agung....


Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan moksha.
Hari Raya Nyepi memiliki makna filosofis yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka.


Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.

Sama seperti pitutur dan petuah yang telah diwariskan kedua orangtuaku, disampaikan oleh kedua mertuaku, akan kuteruskan pula kepada anak-anakku, seluruh anak lain di muka bumi…..

Bimbinglah anak sedari dini, karena mereka tiang pancang dunia..... Hidup takkan selalu mudah dan indah, tidak seperti impian dan harapan. Namun dengan bimbingan dari kita semua, dunia akan harmoni dalam genggaman tangan mereka...... Genius local wisdom di era globalisasi.

“Anakku tersayang.... kami mungkin tidak selalu bisa mendampingimu setiap waktu, tidak selalu hadir di kala dikau membutuhkan bantuan kami, tak dapat memberimu yang terbaik yang tersedia di dunia ini. Namun tumbuhlah bersama doa kami, menjadi pribadi tangguh dalam mengarungi samudra kehidupan kalian.... Terjatuh & tersungkur berkali, maka bangkitlah berkali dan berkali lagi”.

Aham rudre bhir vasubhih caramy
Aham adityair uta visvadevaih
Aham mitravarunobha bibharmy
Aham indragni aham asvinobha
(Regweda X. 125.1)

Aku gerakkan kekuatan alam menjadi tenaga dan kemakmuran.
Aku bercahaya menjadi sumber kekuatan yang cemerlang.
Aku menyangga sumber kekuatan alam dalam wujud air dan cahaya
Aku adalah pusat energi, cahaya sebagai kehidupan yang datang dari matahari,
udara, api, dan segala kekuatan alam yang berguna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar