Sabtu, 20 Februari 2021

I Gede Ardika, The Founding Father, The Great Leader (15 Feb 1945 - 20 Feb 2021)

 


Om Atma Tatwatma Naryatma Swadah Ang Ah.

Om Swargantu, Moksantu, Sunyantu, Murcantu.

Om Ksama Sampurna Ya Namah Swaha.

 

Tuhan Yang Maha Kuasa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, semoga arwah yang meninggal mendapatkan sorga, kesempurnaan, bersatu dengan Mu, mencapai keheningan tanpa derita. Tuhan Yang Maha Esa, ampunilah segala dosanya. Semoga ia mencapai kesempurnaan atas kekuasaan dan pengetahuan serta pengampunan Mu.

Masih tertanam dalam ingatan, pesan beliau, I Gede Ardika, yang begitu sederhana namun penuh makna. “Di atas langit masih ada langit, jangan pernah menyombongkan diri, tetaplah bergaul dengan siapapun”.

Kalimat itu yang sering terucap dari beliau, wanti-wanti mengingatkan untuk selalu belajar beradaptasi dan tetap rendah hati. Sungguh bangga bila bisa mengikuti diskusi bersama beliau, seorang pemimpin besar yang mampu menjaga semangat kami semua untuk bergerak bersama, dengan teladan pada setiap tutur kata, juga perilaku nyata.

Beliau menjadi ketua Balai Pendidikan dan Latihan Pariwisata periode 2000-2004. Selama empat tahun dibawah kepemimpinan beliau, kesederhanaan hidup dan semangat tinggi dalam melaksanakan tugas selalu terlihat.

Beliau meninggal kan begitu banyak kesan dan pesan bagi kami semua. Semangat kerja yang diperlihatkan dengan mengunjungi bawahan, berdiskusi tanpa membedakan jabatan, dan menegur tanpa perlu menjatuhkan. Beberapa rekan membuktikan, sikap kebapakan yang peliau perlihatkan, menegur kesalahan yang dilakukan bawahan tanpa menuding atau melakukannya di depan karyawan lain, namun dipanggil dan diajak berdiskusi dengan situasi nyaman. 

15 Februari 1945 bapak I Gede Ardika lahir di Banjar Dinas Bantas, Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, dari Bapak bernama I Made Arka, dan ibu Ni Made Sandat. Beliau meninggal di RS Borromeus, Bandung, pada umur 76 tahun, pada tanggal 20 Februari 2021. Beliau merupakan seorang pejabat karir pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Sempat menempuh pendidikan Seni Rupa di ITB Bandung, bapak I Gede Ardika menamatkan pendidikan pada Akademi Perhotelan Nasional di Bandung, kemudian tahun 1969 melanjutkan pendidikan perhotelan selama tiga tahun di Glion, Swiss. Beliau juga menamatkan pendidikan pada STIA LAN Bandung pada tahun 1977. Se kembali dari luar negeri pada tahun 1971 untuk menuntut pendidikan, beliau menjalin kerjasama dengan para ahli pada bidang pariwisata dan perhotelan dari Swiss untuk mengembangkan materi pembelajaran pada Akademi Perhotelan Nasional Bandung. Akademi Perhotelan Nasional (APN) Bandung sempat berganti nama menjadi National Hotel Institute (NHI), dan kini menjadi Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung. Pada tahun 1976-1978, beliau menjabat sebagai Direktur National Hotel Institute Bandung, sebelum kemudian dipindahtugaskan ke Bali.

Semenjak tahun 1978 beliau ditunjuk sebagai Ketua Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pariwisata Bali di Nusa Dua, yang kini menjadi Politeknik Pariwisata Bali. Pada tahun 1985, beliau bertugas di Direktorat Jenderal Pariwisata di Jakarta hingga tahun 1991, sebelum kemudian ditugaskan sebagai Kakanwil Deparpostel Prop Bali hingga 1993. Pada tahun 1996 bapak I Gede Ardika kembali ditarik ke Jakarta, ditunjuk sebagai Sekretaris Ditjen Pariwisata Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi. Semenjak tahun 1998 beliau menjabat Dirjen Pariwisata pada Departemen Pariwisata Seni dan Budaya. Tahun 2000, semenjak 24 Agustus 2000 – 9 Agustus 2001, beliau melaksanakan pegabdian sebagai Menteri Negara Pariwisata dan Kesenian, pada Kabinet Persatuan Indonesia, dengan Presiden Abdurrahman Wahid. Pada tahun 2002, kembali mendapat kepercayaan sebagai Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata semenjak 9 Agustus 2001 – 20 Oktober 2004, pada Kabinet Gotong Royong, dengan Presiden ibu Megawati Sukarnoputri.

Dikenal sebagai sosok pekerja keras dan sederhana, beliau mengembangkan konsep Desa Wisata, dan pariwisata budaya sebagai suatu pola berkelanjutan yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Disamping itu, beliau juga menerbitkan beberapa karya tulis, terlibat dalam pendirian dan peresmian beberapa museum, menggalang kerja sama dengan kaum seniman untuk terlibat secara aktif dan mengembangkan berbagai karya mereka dalam dunia pariwisata budaya secara global. Seperti pendirian dan peresmian Museum Basoeki Abdullah di Jakarta Selatan pada tanggal 25 September 2001, karya tulis Kepariwisataan Berkelanjutan yang mengungkapkan ide terkait perkembangan dunia pariwisata di masa depan secara berkelanjutan, aktif menyuarakan nilai falsafah luhur budaya yang berperan menjaga harmoni hubungan manusia dengan berbagai aspek lain, sehingga pariwisata bisa berkembang terus menerus tanpa mengabaikan sisi kemanusiaan itu sendiri dalam upaya mencapai kebudayaan, secara terus menerus menekankan pentingnya konsep wisata desa yang juga disampaikan pada Sidang Umum UN WTO di Chile, 1999, dengan ditandainya pengesahan Kode Etik Pariwisata Dunia (Global Code of Ethics for Tourism).

Pada tahun 2015-2020, beliau menjabat sebagai Komisaris Utama ITDC, sebelum akhirnya penyakit leukemia melemahkan daya tahan tubuh beliau. Beliau menikah dengan Dra. Indriati yang sudah mendahului meninggal, dan memiliki dua anak, Luh Ariati, dan Made Andriani.

Apa yang dapat dipahami dari sejarah panjang perjalanan dalam kehidupan beliau ? Bahwa sesungguhnya kita adalah para prajurit sekaligus tuan dari kehidupan ini. Bersiap menghadapi berbagai situasi, dari yang terbaik hingga terburuk, suka atau tidak, siap atau tidak, namun tetap memperlihatkan kinerja yang berkualitas. Seorang pemimpin sejati adalah teladan semangat dan perjuangan yang tidak pernah meninggalkan medan perjuangan dan para pasukannya, bertempur bersama demi bangsa dan Negara, juga leluhur dan budaya, namun sangat menghormati orang lain, bahkan yang tidak dikenal, menghasilkan banyak pemimpin besar lainnya.

Seperti motto beliau, “Tourism was initially identified as an essential driver of economic growth, but the core is humanity”. Pariwisata adalah faktor utama yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu Negara, namun induknya, dasarnya, pilarnya, adalah kemanusiaan itu sendiri. Bila pariwisata sudah mengabaikan SDM, mengabaikan masyarakat, mengabaikan orang-orang yang terlibat, maka tinggal menunggu waktu dari kejatuhan sektor pariwisata itu sendiri.

Selamat jalan, bapak. Semoga bersatu dengan Tuhan, bertemu dengan ibu dan bapak, bertemu dengan sang istri, berbahagia selamanya. Lihatlah kami, berkunjunglah sesekali, ingatkan kami jika salah dalam melangkah, untuk terus menggelorakan semangat pariwisata agar berkembang semakin baik lagi dari hari ke hari.

Santi Diwyarthi, 21 Februari 2021, dari berbagai sumber dan pengalaman pribadi.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar