Senin, 03 September 2012

Galungan telah lewat, dan kini.... jelang Kuningan.

 
Galungan telah lewat, dan kini, Kuningan menjelang........
 
Seperti hari lain, yang selalu menyenangkan untuk di jelang, dengan sepenuh keharuan karena diberkati oleh Hyang Widhi Wasa, maka kami syukuri setiap hari yang tiba.
 
Perayaan Galungan dan Kuningan memiliki arti kemenangan kita dalam perjuangan untuk selalu di jalan Dharma. Lalu, apakah ini berarti, pada hari lain kita kalah dan gagal?? Ini adalah simbol, rangkaian ritual dalam agama Hindu, khususnya dengan latar belakang budaya Bali, yang menguraikan fungsi dan makna bahwa kita akan selalu berjuang sepanjang kehidupan kita untuk tetap di jalan Dharma itu sendiri.

Lontar Purana Bali Dwipa menggambarkan : 
"Punang aci galungan ika ngawit bu, ka, dungulan sasih kacatur tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana ikang bali rajya".
 
Artinya:"Perayaan hari raya suci Galungan pertama adalah pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka, keadaan pulau Bali bagaikan lndra Loka".

Mulai tahun saka inilah hari raya Galungan terus dilaksanakan, kemudian tiba-tiba Galungan berhenti dirayakan entah dasar apa pertimbangannya, itu terjadi pada tahun 1103 saka saat Raja Sri Eka Jaya memegang tampuk pemerintahan sampai dengan pemerintahan Raja Sri Dhanadi tahun 1126 saka Galungan tidak dirayakan. Dan akhirnya Galungan baru dirayakan kembali pada saat Raja Sri Jaya Kasunu memerintah, merasa heran kenapa raja dan para pejabat yang memerintah sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui sebabnya beliau bersemedi dan mendapatkan pawisik dari Dewi Durgha menjelaskan pada raja, leluhumya selalu berumur pendek karena tidak merayakan Galungan, oleh karena itu Dewi Durgha meminta kembali agar Galungan dirayakan kembali sesuai dengan tradisi yang berlaku dan memasang penjor.

Galungan adalah hari raya suci Hindu yang jatuh pada Buda Kliwon Dungulan berdasarkan hitungan waktu bertemu sapta wara dan panca wara. Umat Hindu dengan penuh rasa bhakti melaksanakan rangkaian hari raya suci Galungan dan Kuningan dengan ritual keagamaan (Nyoman Dayuh, UNHI - Dps).
 
Bagaimana dengan banten maupun persembahan yang dihaturkan bagi Tuhan? Menurut Ketut Wiana yang merujuk Bhagawadgita :
 
Datavyam iti yad danam
diyate'nupakarine
desa ala ca patre ca
tad danam sattvikam smrtam. 
(Bhagawadgita XVII.20)
Artinya, dana punia yang diberikan dengan tulus ikhlas yang diyakini sebagai swadharma atau kewajiban suci dan dilakukan sesuai dengan desa, kala dan patra. Dana punia itu disebut Sattvika Dana.
Banyak umat berharap mendapat anugerah dari Tuhan dengan melakukan sraddha dan bhakti, meskipun bhakti yang demikian masih tergolong apara bhakti, mengharap sesuatu, mengharap imbalan. Bhakti yang mulia adalah para bhakti, yaitu bhakti pada Tuhan tanpa pamrih apapun. Bagi umat pada umumnya, sraddha bhakti itu masih dalam tahapan apara bhakti dengan adanya suatu permohonan mulia kepada Tuhan.
Perayaan Galungan adalah melambangkan perjuangan umat untuk menegakan kehidupan di bumi ini berdasarkan dharma dan jnyana. Anugerah dari hasil perjuangan itu dilambangkan akan diturunkan oleh Tuhan saat Kuningan. Anugerah itu diterima berdasarkan konsep desa, kala dan patra sebagaimana dinyatakan dalam Bhagawadgita XVII.20.
Artinya suatu pemberian Tuhan yang disebut anugerah atau karunia atas perjuangan umat menegakan dharma dengan jnyana disimbolkan saat hari raya Kuningan. Menurut ketentuan Bhagawadgita tersebut anugerah itu diberikan dengan dasar desa, kala dan patra. Desa artinya ketentuan rohani setempat, berdasar tata cara, peraturan dan awig-awig yang berlaku di sebuah tempat. Kala artinya waktu yang baik, yaitu saat satvika kala seperti saat sebelum mata hari tegak di atas kepala. Diberikan pada mereka yang patra.
Kata patra dalam desa, kala, patra ini bukan berarti keadaan. Pengertian patra dalam Sarasmuscaya 271 dinyatakan: Patra ngaranya sang yogia wehana dana. Artinya: patra namanya adalah orang yang sepatutnya diberikan dana. Orang yang tepat menerima dana punia itulah yang disebut patra. 
 
Menurut Ketut Wiana, dasar pertimbangan untuk menyukseskan tujuan menerapkan dharma atau agama dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VII.10 sebanyak lima dasar pertimbangan yaitu iksha, sakti, desa, kala dan tattwa.
Nampaknya ajaran desa, kala, patra hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan mengapa dalam Lontar Sunarigama dinyatakan agar menyelenggarakan persembahan hari raya Kuningan saat pagi sebelum tajeg surya. Pagi sebelum tajeg surya itu tergolong satvika kala atau hari baik untuk menerima anugerah.
Upakara atau banten yang dipersembahkan saat Kuningan sebelum tajeg surya yang utama adalah banten tebog atau selanggi. Banten tebog ini bentuknya seperti topi terbalik yang di dasarnya muncul bertahap. Banten selanggi fungsinya sama dengan tebog cuma bentuknya lebih kecil. Bentuk banten tebog yang muncul pada bagian dasarnya itu melambangkan tahap-tahap perjuangan. Menuju keadaan hidup yang semakin baik.
Dalam diri manusia terdapat unsur kekuatan yang disebut aiswarya, artinya suatu kekuatan spiritual dalam citta atau alam pikiran yang mendorong manusia secara instinktif untuk terus-menerus memperbaiki diri menuju keadaan hidup yang makin dekat dengan Tuhan. Barang siapa yang terus-menerus berjuang untuk meningkatkan diri secara rohani menata hidup jasmani atau duniawi adalah yang akan mendapat karunia atau kasih sayang Tuhan.
Karunia Tuhan pada saat hari raya Kuningan disimbolkan dalam sampian Kuningan yaitu: sampian tamiang, ter, kolem dan endongan. Sampian Kuningan inilah sebagai banten utama selain tebog dan selanggi saat hari raya Kuningan. Upakara ini nampaknya sangat lokal Bali. Tetapi di balik simbol lokal tersebut terdapat nilai filosofis yang universal dan mengandung pengertian yang dalam.
Manawa Dharmasastra I.89 ada dinyatakan tentang kebutuhan pokok masyarakat sbb: Prajanam raksanam danam. Artinya yang paling dibutuhkan oleh masyarakat adalah adanya rasa aman (raksanam) dan sejahtera (danam). Anugerah tersebutlah yang disimbolkan dalam sampian Kuningan. Tamiang yang berbentuk bundar seperti perisai dalam tentara kerajaan tradisional. Ini lambang perlindungan diri dengan perisai dalam bentuk bulat sampian tamiang ini adalah simbol sakral untuk membangun daya tahan mental dalam menghadapi berbagai hambatan, tantangan dan godaan hidup yang dapat membuat kita merasakan rasa aman dalam menapaki hidup ini.
Bentuk bulat melambangkan Bhuwana Agung stana Sang Hyang Dewata Nawa Sanga. Anugerah perlindungan Tuhan yang ada dimana-mana inilah sesungguhnya pelindung kita yang sejati. Setiap orang yang menginginkan kedamaian dan rasa aman berusaha menghapus galau dan sesuatu yang tidak benar dalam hidupnya. Aktif menghilangkan sesuatu yang sepatutnya dihilangkan dilambangkan dengan busur / ter sebagai alat melepaskan panah.
Demikian juga halnya dengan sampian kolem yang berbentuk seperti kantong tempat anak panah sebagai lambang logistik yang dibutuhkan dalam suatu pertempuran. Ini melambangkan dalam perjuangan itu kita butuh bekal lahiriah dan batiniah dalam menghadapi hidup ini. Di samping itu ada juga sampian endongan sebagai lambang kesejahteraan sebagai karunia Tuhan pada mereka yang benar-benar berjuang dalam hidupnya mensinergikan ilmu pengetahuan substansi dari pada perayaan Galungan.
Simbol sampian Kuningan sebagai hari penutup perayaan Galungan dalam wujud anugerah bagi mereka yang sukses mencapai hidup yang galang apadang, sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Sunarigama. Seyogianya perayaan Galungan dan Kuningan ini dijadikan suatu momentum membangkitkan kesadaran diri umat untuk mengevaluasi upaya kita mewujudkan rasa aman damai dan sejahtera agar dalam hari-hari selanjutnya ada peningkatan yang nyata dirasakan oleh umat.
Setiap upaya dalam menjaga perdamaian dan mencapai kebahagiaan lahir dan batin ini yang harus dievaluasi, agar tidak semata terhenti hanya pada prosesi upacara dan upakara di tingkat ritual semata, dalam berbagai kegiatan di jalan Dharma, Semoga damai selalu ada dan tercipta di dunia, dan juga di hati kita semua.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar