Selasa, 16 Juli 2019

ARMA dan Anak Agung Rai Suartini





Anak Agung Rai Suartini kutemui di saat acara pembukaan pameran I Made Griyawan : Inquire Within, pada hari Jum’at, 12 Juli 2019, di Agung Rai Museum of Art, Ubud. Beliau adalah istri dari Anak Agung Gde Rai. Sungguh menyenangkan akhirnya bisa berjumpa dengan nya. Karena aku percaya, selalu ada tokoh hebat nan tangguh dibalik kesuksesan tokoh hebat. Dan, sosok Ibu Anak Agung Rai Suartini merupakan perempuan hebat yang senantiasa mendukung setiap jejak langkah Anak Agung Gde Rai. 


Di dalam Siwatatwa, dikenal konsep Ardanareswari, yakni simbol Tuhan dengan manifestasi setengah Purusa dan setengah lagi Pradana. Kedudukan dan peranan Purusa disimbolkan dengan Siwa (fungsi maskulin), kedudukan dan peranan Pradana disimbolkan dengan Dewi Uma (fungsi feminin). Tidak ada yang akan tercipta bila kekuatan Purusa dan Pradana tidak menyatu, memberikan bayu bagi terciptanya berbagai mahluk dan tumbuhan yang ada.


Bersatunya pasangan Agung Rai bersama Anak Agung Rai Suartini bersama Anak Agung Gde Rai membuktikan betapa sejarah perjuangan panjang di dalam menjalani kehidupan akan berbuah kebahagiaan. Pasangan yang saling mendukung satu sama lain, menjalani beragam proses baik suka dan duka, memberikan harmonisasi di tengah keluarga tersebut dalam beraktivitas sehari-hari, juga di tengah masyarakat.


Konsep Ardanariswari ini menjelaskan bahwa perempuan sungguh berarti dan mulia sebagai dasar kebahagiaan rumahtangga. Perempuan yang memberikan kemakmuran dan menegakkan aturan dalam meraih kesejahteraan bersama, sebagaimana tercantum di dalam Yajurveda XIV: 21. Murdha asi rad dhuva asi, Daruna dhartri asi dharani, Ayusa twa varcase tva krsyai tva ksemaya twa. Perempuan, engkau adalah perintis, cemerlang, pendukung yang memberi makan dan menegakkan aturan. Kami memiliki engkau di dalam keluarga untuk memberikan usia panjang, kecemerlangan, kemakmuran, kesuburan lahan pertanian, dan berbagai berkah lainnya.


Sungguh tidak mudah mendampingi orang hebat, tokoh terkenal, seniman, juga budayawan, yang harus beraktivitas sekaligus dalam banyak peran, dibutuhkan oleh masyarakat luas, bahkan kalangan global. Ini mampu dilaksanakan oleh Ibu Anak Agung Rai Suartini. Kepercayaan bagi suami, bapak Anak Agung Gde Rai, baik dalam hal memberikan kesempatan luas untuk berkarya secara kreatif, bekerja dalam berbagai bidang sekaligus untuk mengumpulkan nafkah bagi keluarga, memberikan kesempatan luas bagi banyak orang, khususnya seniman muda, termasuk menggunakan museum sebagai ruang pamer bagi para seniman ini, menekan ego karena begitu banyak waktu keluarga tersisih demi masyarakat luas. Hal ini mencerminkan kebesaran hati seorang perempuan, kebijakan dan kecerdasan yang tercermin pada beliau. Hal ini menggambarkan bahwa perempuan adalah ciptaan Tuhan di dalam fungsi sebagai Pradana. Perempuan juga disimbolkan dengan yoni, sumber kesuburan dan kearifan. Laki-laki merupakan ciptaan Tuhan dalam fungsi sebagai Purusa, yang disimbolkan dengan lingga. 


Anak Agung Gde Rai yang lahir pada di Puri Kelodan, Peliatan, Ubud, pada tanggal 17 Juli 1955 merupakan kolektor dan kurator seni ternama. Bukan hal mudah mencapai segala kesuksesan ini hingga bisa mendirikan museum ARMA juga hotel yang bernuansakan budaya Bali dan terkenal ke seluruh dunia. Museum ARMA diresmikan pada tahun 1996, pada tanggal 9 Juni  oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu. Bukan hanya terkenal sebagai pengusaha dan budayawan, tokoh seniman, beliau juga dikenal sosok sosial yang banyak memotivasi kalangan muda serta seniman yang baru merintis karyanya.


Salah satu perjuangan beliau bagi kaum muda, generasi penerus dunia seni dan budaya, di antaranya adalah memboyong 100 lukisan karya 50 pelukis yang tergabung dalam Sanggar Seniman Agung Rai pada pertengahan tahun 1989 ke Jepang di dalam pameran seni, lukisan yang menggambarkan dunia kehidupan masyarakat sehari-hari di Bali, budaya Bali, terkait ritual keagamaan, aktivitas kegiatan, kehidupan sosial, dan berbagai sisi lain.


Fokus dunia seni yang dilakukan tidak hanya bagi berbagai karya yang merupakan karya seni lukis tradisional, namun juga kontemporer, modern, aliran Batuan, gaya Pengosekan, mulai dari Made Wianta, Nyoman Meja, Ketut Budiana, Nyoman Suradnya, Made Budiana, Pande Gde Supada, Djirma, Made Surita. Tjok Raka, Bendi dan Taweng.

“Saya ingin melakukan promosi budaya, tidak hanya bali, namun juga Indonesia, tidak hanya seniman terkenal, namun juga seniman muda. Hal ini untuk memotivasi seniman tersebut, senantiasa berkarya, tidak hanya berpuas diri hingga disini, selalu kreatif mengembangkan berbagai ide, juga berinovasi dalam berbagai hal” Ujar Agung Rai.

Inovasi yang dilakukan oleh Agung Rai juga termasuk dengan memboyong rombongan seniman lukis dan seniman tari sebagai duta seni dan budaya ke berbagai Negara. Dengan memperlihatkan proses dari awal hingga akhir, seni lukis juga seni tari ditampilkan di tengah para penonton atau masyarakat penikmat seni, hal ini merupakan diplomasi budaya positif bagi Indonesia, juga Bali, di kancah internasional.

Proses ini yang didukung penuh oleh sang istri, Anak Agung Rai Suartini, sehingga Anak Agung Rai bisa bebas berekspresi, berkreasi, dan juga melakukan beragam aktivitas di bidang budaya, yang memberikan dampak positif bagi masyarakat di sekelilingnya.

Memang benar, pepatah yang menyatakan bahwa di balik kesuksesan seseorang, terdapat orang lain yang selalu mendukung penuh perjuangan meraih sukses tersebut. Peranan sang istri sangat besar dalam mendukung dan memotivasi Anak Agung Gde Rai, juga dalam membimbing keluarga tercinta, sehingga bisa kreatif dan terus berkarya. Hal ini patut menjadi teladan dan memberikan semangat positif bagi masyarakat lain pula. 

Di dalam Padma Purana, dijelaskan bahwa Dewa Brahma membagi setengah dirinya tatkala menciptakan Dewi Saraswati. Bukan hanya setengah badan, namun juga setengah jiwa. Hal ini yang dimaksud dengan konsep Ardanariswari di dalam konsep Hindu. Ini menjelaskan bahwa wanita di dalam teologi Hindu bukan hanya sebagian kecil personifikasi lelaki, namun juga bagian dengan kedudukan yang sama besar, sama kuat dan utuh, sama penting dalam mewujudkan suatu kehidupan yang berbahagia. Ardha berarti setengah, belahan yang sama. Nara artinya (manusia) laki-laki. Iswari artinya (manusia) wanita.

Di dalam Siwatatwa, dikenal konsep Ardanareswari, yakni simbol Tuhan dengan manifestasi setengah Purusa dan setengah lagi Pradana. Kedudukan dan peranan Purusa disimbolkan dengan Siwa (fungsi maskulin), kedudukan dan peranan Pradana disimbolkan dengan Dewi Uma (fungsi feminine). Tidak ada yang akan tercipta bila kekuatan Purusa dan Pradana tidak menyatu, memberikan bayu bagi terciptanya berbagai mahluk dan tumbuhan yang ada.

Di dalam Manawa Dharmasastra I:32 disebutkan: Dwidha kartwatmanodeham, Ardhena purusa bhawat, Ardhena nari tasyam sa, Wirayama smirjat prabhu. Tuhan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki, dan sebagian menjadi perempuan. DariNya terciptalah viraja (kehidupan). Hal ini menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan lelaki dan perempuan, dengan kesetaraan kedudukan, dan perbedaan ini untuk saling melengkapi satu sama lainnya. 

Menurut Manawa Dharmasastra IX: 96, Prajanartha striyah srtah, Samtanartam ca manawah, Tasmat saharano dharmah, Srutao patnya sahaditah. Uraiannya menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan wanita dengan tujuan untuk menjadi ibu, Laki-laki diciptakan untuk menjadi ayah. Tujuan diciptakannya pasangan suami istri sebagai keluarga dalam suatu upacara keagamaan sebagaimana ditetapkan menurut Weda, dalam suatu ikatan tali pernikahan yang sah, saling melengkapi satu sama lainnya

Couteau, Jean., Wisatsana Warih. 2013. GUNG RAI: Kisah Sebuah Museum. Jakarta: Gramedia

Sepuluh Museum Terbaik di Indonesia
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar