Rabu, 24 Juli 2019

Galunganku, Galunganmu, Galungan Kita Bersama (2)



Galungan Ku, Galungan Mu, Galungan Kita Bersama (2)

Galungan tiba setiap 210 hari sekali, di saat Buda Kliwon Dunggulan. Galungan merupakan simbol kesadaran kita akan jati diri sebagai umat manusia. Senjatanya adalah dengan pengetahuan, kesadaran akan kebijakan dan kedewasaan umat manusia untuk selalu berlaku bajik dan arif. 

Dengan berbagai cara, orang menyambut dan menjalani Hari Suci ini. Beragam simbol terkait dengan Galungan, beragam upacara serta upakara terlibat, beragam ritual dan gaya terpapar, beragam makna pula yang digelar …  


Dari Penjor, Banten, Lawar, Penampahan, Manis, dan semua tentang Galungan. Dari Mebat, nanding banten, megibung, menyameberaye, numpeng, ngae base, munjung, ngejot, dan entah berapa banyak lagi istilah serta cara yang ada. Semua di sesuaikan dengan Desa, Kala dan Patra, keselarasan Tri Hita Karana.

Rangkaian Hari Suci Galungan diawali semenjak Saniscara Kliwon Wariga, dengan Tumpek Wariga, Tumpek Bubuh atau Tumpek Pengatag, atau Tumpek Pengarah. Masyarakat Hindu di Bali mempercayai permohonan pada Tuhan untuk mempermudah dan melancarkan upaya menuju Galungan, pepohonan berbuah dengan lebat, hasil kebun berlimpah, dapat memberikan manfaat bagi banyak orang. Upacara ini disertai dengan menghaturkan berbagai jenis bubuh sebagai bagian dari isi banten yang dihaturkan. Bubuh putih untuk jenis tanaman umbi-umbian. Bubuh bang (merah) untuk padang-padangan / pasture / tanaman jenis rumput / pakan ternak / kacang-kacangan. Bubuh gadang (hijau) untuk jenis tanaman yang berkembangbiak secara generatif, seperti pisang, Bubuh kuning untuk jenis pohon yang berkembangbiak secara vegetatif. Raingkaian upacara juga dengan menyerukan kalimat “Dadong, Dadong. I Pekak anak kija? I Pekak ye gelem. I Pekak gelem kenape, Dong?. I Pekak gelem. Nged, Nged, Nged”. Hal ini menjadi simbol upaya agar tanaman berbuah dengan lebat sehingga hasilnya bisa dipergunakan sebagai bahan upacara Galungan dan Kuningan. Tumpek Wariga juga merupakan wujud cinta kasih manusia terhadap tumbuh-tumbuhan.


Tumpek Wariga disusul dengan Sugihan Jawa. Sugihan Jawa dilangsungkan pada hari Kamis, Wrespati Wage Sungsang. Sugihan Jawa bermakna Penyucian di bagian luar. Pembersihan di jaba. Penyucian Buana Agung, lingkungan sekitar, di luar diri. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan upacara Mererebu atau Mererebon. Ngerebon berupaya menetralisir berbagai hal yang bersifat negatif. Hal ini dilakukan dengan pembersihan merajan dan lingkungan rumah, termasuk Pura Kahyangan Tiga dengan menghaturkan banten. 

Sehari setelah Sugihan Jawa adalah Sugihan Bali. Sugihan Bali merupakan penyucian atau pembersihan Buana Alit. Dengan melukat, menghaturkan banten, bersembahyang, bermeditasi, kita bersiap akan datangnya Galungan.

Pada Hari Minggu, Redite Pahing Dunggulan, kita melaksanakan rangkaian upacara Penyekeban, sebagai simbol pengendalian diri, panca indra, agar tidak melakukan hal-hal negatif, berupaya mengendalikan diri. Penyajan yang jatuh pada hari Senin, Soma Pon Dunggulan, berasal dari kata Saja, bermakna serius, sebagai symbol kesungguhan hati, keseriusan dalam menyongsong hari suci Galungan dan Kuningan. Masyarakat Hindu menyakini bahwasanya kita harus senantiasa mampu mengendalikan diri, berupaya untuk senantiasa fokus, sehingga tidak tergoda oleh Sang Butha Dunggulan, memusatkan konsentrasi terhadap pelaksanaan Galungan.


Pada hari Penampahan Galungan, Selasa, Anggara Wage Dunggulan, umat Hindu bersiap menyambut hari suci Galungan, dengan membuat Penjor. Penjor memiliki makna rasa syukur atas segala anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa selama ini terhadap umat manusia. Lengkungan penjor yang terbuat dari batang bambu yang melengkung dihiasi berbagai sarana upakara, bermakna bahwa dengan rasa syukur tersebut, manusia tetap tidak boleh sombong, menjaga kesucian hati, pikiran, perkataan, juga perbuatan, menghargai orang lain, menghormati leluhur, memelihara tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun, sesuai dengan kreativitas masing-masing yang berlaku secara Desa, Kala dan juga Patra.

Selain menghaturkan penjor, umat Hindu juga menyembelih babi yang sebagian dagingnya akan dibuat banten sebagai pelengkap rangkaian upacara. Pemotongan hewan ini bermakna simbolis membunuh segala sifat kebinatangan yang ada di dalam diri manusia. Umat Hindu meyakini pada hari Penampahan ini para luluhur akan dating dan berada di tengah keluarga, hadir ke dunia, maka mereka menghaturkan banten, sesaji, suguhan yang terbuat dari buah-buahan, nasi, lengkap dengan lauk pauk, wedang kopi, lekesan (daun sirih dan buah pinang) juga rokok, sebagai simbol sambutan terhadap leluhur.


Pada hari Galungan, Buda Kliwon Dunggulan, umat Hindu bersembahyang di merajan, juga di Pura Kahyangan Tiga, memohon senantiasa diberi bimbingan, tuntunan, dan dijauhkan dari ikatan nafsu atau godaan di dalam kehidupan. Pada Hari Umanis Galungan, umat Hindu beranjangsana, saling mengunjungi, melaksanakan Dharma Santi, berdiskusi, memberikan pencerahan terkait ajaran agama.
Pada hari Umanis Galungan, anak – anak dan remaja mengadakan tradisi Ngelawang, menarikan barong yang disertai dengan gamelan, berkeliling kampung, mengunjungi rumah demi rumah, (lawang ke lawang). Pemilik rumah kemudian keluar dengan membawakan canang yang berisi dupa dan sesari untuk dihaturkan. Tradisi Ngelawang diyakini mampu membersihkan aura negatif yang terdapat di dalam maupun di sekeliling rumah. 

Ini semua merupakan simbol Genius Local Wisdom yang sudah berlangsung secara turun temurun, berlaku semenjak lama. Mengapa? Karena kearifan lokal ini mengajarkan kita berada pada satu ruang dan waktu kebersamaan, kemampuan pengendalian ego jika berkumpul dengan sanak keluarga dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang tua dan muda, ada yang sering ditemui, ada yang bahkan ini merupakan pertemuan pertama, ada yang tanpa pengalaman dalam ritual keagamaan seperti ini. Dengan duduk bersama, tinggal bersama, melakukan aktivitas bersama, saling bertutur sapa, bertukar ceritera, akan mengenalkan kita pada karakter masing-masing, akan menjalin kerjasama dan kebersamaan yang sudah pasti terjalin dengan baik di kemudian hari.

Pulang kampung, mudik, tidak hanya ada bagi umat Hindu, namun juga umat lainnya. Bagaimana dengan umat yang tinggal di suatu daerah, tidak memiliki kampung halaman ? mereka tetap dapat saling berkunjung, mengucapkan salam, saling menyapa dan bersyukur atas segala kemudahan dan kelancaran yang telah diperoleh selama ini, merangkai kebersamaan hingga selanjutnya di masa depan.

Galungan tidak hanya mengajarkan kita akan makna bersyukur, namun juga makna kebersamaan, kerja keras, doa, cinta dan cita-cita di masa depan, dengan cara pengendalian ego, dengan cara menjalin diskusi dan kerja sama, dengan cara bersahaja, sederhana.

Setelah Galungan, terdapat hari Pemaridan Guru, yang bermakna Memarid, Ngelungsur, Nyurud, Memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dalam manifestasi berupa Sang Hyang Siwa Guru. Hari Pemaridan Guru yang berlangsung pada hari Sabtu Pon Galungan, dua hari setelah Galungan, sebagai simbol kita ngelungsur banten Galungan, memohon berkah Tuhan, agar senantiasa diberi restu dalam berbagai aktivitas kehidupan.

Masih dalam rangkaian upacara Galungan, juga terdapat Hari Pemacekan Agung. Hari ini jatuh pada hari Senin, Soma Kliwon Kuningan. Pemacekan Agung, tekek, tegar, teguh dan kukuh, bermakna bahwa umat manusia diharapkan senantiasa menguatkan iman, fokus pada keyakinan, menjaga kesucian pikiran dan perkataan juga perbuatan, untuk tertuju hanya pada Beliau, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 

Pada hari suci Kuningan, umat Hindu membuat banten yang dilengkapi dengan tamiang, kolem dan endong. Tamiang sebagai simbol senjata Dewa Wisnu yang menyerupai cakra. Kolem simbol senjata Dewa Mahadewa, dan Endong simbol kantong perbekalan yang dipakai oleh para dewata dan juga leluhur saat berperang melawan kejahatan / adharma. Tamiang dan Kolem dipasang pada semua pelinggih, tugu, bale dan juga pelangkiran. Endong dipasang hanya pada pelinggih dan pelangkiran. Tumpeng yang dipergunakan juga berwarna kuning dari pewarna berupa kunyit yang dicacah dan direbus menggunakan minyak kelapa dan daun pandan harum sebagai simbol Kuningan, Nguningan, Matur piuning, melaporkan telah berakhirnya kegiatan persembahan bagi para dewata, leluhur dan Tuhan, menjaga kesadaran dan pengetahuan untuk senantiasa waspada terhadap berbagai hal negatif.
Tumpeng pada banten yang biasanya berwarna putih diganti dengan tumpeng berwarna kuning yang dibuat dari nasi yang dicampur dengan kunyit yang telah dicacah dan direbus bersama minyak kelapa dan daun pandan harum. Hal ini sebagai simbol dari kebahagiaan, keberhasilan, kesejahteraan, kemenangan diri sendiri menaklukkan hawa nafsu.

Di saat Pegat Wakan, yang merupakan runtutan terakhir hari suci Galungan dan Kuningan, umat Hindu menghaturkan banten dan kemudian mencabut Penjor Galungan yang telah dibuat di saat hari Penampahan Galungan. Penjor tersebut dibakar dan abunya ditanam di pekarangan rumah. Pegat Wakan jatuh pada hari Rabu Kliwon wuku Pahang, sebulan setelah hari Suci Galungan.

Penjor Galungan adalah lambang dari Gunung Agung atau Naga Basuki. Penjor Galungan sebaiknya dipasang / nancep di saat Anggara Dunggulan / Penampahan Galungan. Dan Pencabutan di saat Buda Kliwon Pahang. Letaknya di sebelah kanan pintu gerbang, dengan Sanggah Penjor menghadap ke jalan. 


Arti dari segala perlengkapan Penjor antara lain:
Sampian Penjor melambangkan Sang Hyang Parama Siwa, dengan isinya, canangsari, kwangen dengan sesari 11 kepeng. Jaja gina dan jaja uli melambangkan Sang Hyang Brahma. Kober putih kuning dengan Padma Ongkara melambangkan Sang Hyang Iswara. Cilli / gegantungan melambangkan Sang Hyang Tamiang melambangkan penolak bala / meseh / Adharma. Ubag-abig melambangkan Sang Hyang Rare Angon. Klukuh berisi pisang, tape, jaja, melambangkan Sang Hyang Boga. Tebu melambangkan Sang Hyang Ambu. Palabungkah Pala Gantung melambangkan Sang Hyang Wisnu. Kelapa melambangkan Sang Hyang Rudra. Busung, ambu, melambangkan Sang Hyang Mahadewa. Plawa melambangkan Sang Hyang Sangkara. Sanggah Ardha Candra melambangkan Sang Hyang Siwa. Banten melambangkan Sang Hyang Sadha Siwa. Lamak melambangkan Sang Hyang Tribhuwana. Tiying / bamboo dibungkus kasa / ambu melambangkan Sang Hyang Mahesora.

Saat akan mencabut Penjor, menghaturkan Banten Tumpeng Puncak Manik. Abu penjor dimasukkan pada klungah nyuh gading, kemudian ditanam di hulu natar rumah. Bila habis purnama (uwudan), ditambah dengan damar Bali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar