Selasa, 23 Juli 2019

Galunganku, Galunganmu, Galungan Kita Bersama (1)



Brahma vid Brahmaiva bhavati. He who knows Brahman, becomes Brahman. Dia yang mengetahui Tuhan, menjadi Tuhan, bersatu dengan Tuhan (Moksa).  Mundaka Upanishad 3.2.9

Aku terlelap dalam tidur panjangku. Dan aku terjaga dalam gelap malam, sendirian, tiada berkawan. Namun akhirnya ku akui bahwa kita tidak pernah benar-benar sendiri, akan selalu ada orang lain yang peduli, ada orang lain yang lebih menderita, setiap orang menghadapi perjuangannya sendiri.

Kita mengetahui kebijakan, menerapkan kebijakan di dalam kehidupan kita di dunia. Mencoba menjaga perdamaian, menjalin kerjasama dan kebersamaan di berbagai aktivitas kehidupan, menghindari pertikaian. Namun, tidak akan pernah ada kesempurnaan, tidak ada manusia yang sempurna, setiap orang pernah melakukan kesalahan, setiap orang punya masa lalu, dan setiap orang berhak atas masa depan.


Bahkan, Wisnu dan Siwa juga pernah tidak akur, alami pertengkaran, bertikai berkali. Wisnu pernah tidak mengakui hakekat Siwa, mengabaikan keberadaannya. Hal ini terjadi di saat Wisnu berada dalam keadaan surupa (kegelapan). Wisnu mengarahkan semua senjata kepada Siwa, namun Siwa menelan semuanya, karena semua senjata adalah senjata Siwa.

Untuk menyadarkan Wisnu, membangunkan Siwa dari tidur panjangnya (surupa), terpaksa Siwa membentangkan Tri Sula saktinya hingga mengenai dada Wisnu. Wisnu kemudian sadar dan ingat akan jati dirinya sebagai Narayana. 


Galungan merupakan simbol kesadaran kita akan jati diri sebagai umat manusia. Senjatanya adalah dengan pengetahuan, kesadaran akan kebijakan dan kedewasaan umat manusia untuk selalu berlaku bajik dan arif. 

Dan, beragam simbol terkait dengan Galungan, beragam upacara serta upakara terlibat, beragam ritual dan gaya terpapar, beragam makna pula yang digelar … Selalu indah memahami perbedaan di antara kita, bukan ? 

Dari Penjor, Banten, Lawar, Penampahan, Manis, dan semua tentang Galungan. Dari Mebat, nanding banten, megibung, menyameberaye, numpeng, ngae base, munjung, ngejot, dan entah berapa banyak lagi istilah serta cara yang ada. Semua di sesuaikan dengan Desa, Kala dan Patra, keselarasan Tri Hita Karana.

Penjor Galungan merupakan lambang dari Gunung Agung atau Naga Basuki. Penjor Galungan sebaiknya dipasang / nancep di saat Anggara Dunggulan / Penampahan Galungan. Dan Pencabutan di saat Buda Kliwon Pahang. Letaknya di sebelah kanan pintu gerbang, dengan Sanggah Penjor menghadap ke jalan. 

Arti dari segala perlengkapan Penjor antara lain:
Sampian Penjor melambangkan Sang Hyang Parama Siwa, dengan isinya, canangsari, kwangen dengan sesari 11 kepeng. Jaja gina dan jaja uli melambangkan Sang Hyang Brahma. Kober putih kuning dengan Padma Ongkara melambangkan Sang Hyang Iswara. Cilli / gegantungan melambangkan Sang Hyang Tamiang melambangkan penolak bala / meseh / Adharma. Ubag-abig melambangkan Sang Hyang Rare Angon. Klukuh berisi pisang, tape, jaja, melambangkan Sang Hyang Boga. Tebu melambangkan Sang Hyang Ambu. Palabungkah Pala Gantung melambangkan Sang Hyang Wisnu. Kelapa melambangkan Sang Hyang Rudra. Busung, ambu, melambangkan Sang Hyang Mahadewa. Plawa melambangkan Sang Hyang Sangkara. Sanggah Ardha Candra melambangkan Sang Hyang Siwa. Banten melambangkan Sang Hyang Sadha Siwa. Lamak melambangkan Sang Hyang Tribhuwana. Tiying / bamboo dibungkus kasa / ambu melambangkan Sang Hyang Mahesora.

Saat akan mencabut Penjor, menghaturkan Banten Tumpeng Puncak Manik. Abu penjor dimasukkan pada klungah nyuh gading, kemudian ditanam di hulu natar rumah. Bila habis purnama (uwudan), ditambah dengan damar Bali.


Brahma vid Brahmaiva bhavati. He who knows Brahman, becomes Brahman. Dia yang mengetahui Tuhan, menjadi Tuhan, bersatu dengan Tuhan (Moksa).  Mundaka Upanishad 3.2.9

Sadhana Pancakam dari Sri Shankaracharya merupakan sebuah karya sastra klasik mengenai praktek-praktek spiritual. Beliau menyatakan, Brahmasmiti vibhavyatam, Always be aware that you are Brahman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar