Selasa, 13 Juli 2010

Menjadi Dokter...

Sabtu, 10 Juli 2010 pukul delapan pagi. Pesawat Lion Air, JT 011 dari Bali mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Aku turun dengan ransel di pundak dan satu tas kecil tersampir di leher. Kupilih satu bus jurusan Rawamangun. Tujuan kali ini adalah menemui kakak dan adik kandungku beserta keluarga.

Di atas bus, berkenalan dengan pak Agus, seorang dokter gigi yang sedang menempuh studi S3 di Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, bagian orthopedi / bedah mulut, yang salah satu tujuannya untuk memperindah penampilan gigi dan mulut. Dia sedang berusaha mencari peluang untuk membuka praktek sebagai dokter kecantikan gigi di Jakarta.

Pak dokter Agus berceritera, istrinya juga seorang dokter yang menjadi tenaga pengajar di UII Yogya. Tahun 2009 lalu, UII menerima 320 mahasiswa baru Fakultas kedokteran. Woooww, suatu jumlah yang fantastis. Di Yogya sendiri, kini telah terdapat empat Perguruan Tinggi yang memiliki Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah Mada, Universitas Muhammadiyah, Universitas Islam Indonesia, dan Universitas Duta Wacana yang terletak di belakang Rumah Sakit Bethesda. Hmmm, dengan penerimaan mahasiswa baru, khususnya bagi Fakultas Kedokteran, dalam jumlah banyak, tidak terbayangkan dalam waktu sepuluh tahun lagi kelak, akan terdapat booming jumlah dokter. Apalagi, tatkala mengetahui bahwa setiap semester, mahasiswa Kedokteran yang ada di UII rata-rata harus membayar uang sejumlah 50 juta. Di UGM sendiri, seorang mahasiswa fakultas Kedokteran yang masuk dalam level kelas internasional, dikenakan biaya pendidikan hingga 50 juta setiap semesternya. Hmmm, jauuuh berbeda situasi di UGM kini dengan saat aku masih kuliah di Fakultas Psikologi UGM dari tahun 1987 hingga 1993 dahulu.

Bagaimana dengan kualitas dosen dan mahasiswa? Dijelaskan oleh dokter Agus, bahkan, kebanyakan mahasiswa Fak. Kedokteran tersebut rendah dalam logika dan sistematika kerja. Target penerimaan mahasiswa dalam jumlah tinggi untuk meningkatkan pemasukan bagi universitas yang bersangkutan tidak menjamin pula meningkatnya kualitas standar yang diterapkan oleh pihak manajemen universitas. Ah... jadi teringat saat suamiku mengalami kecelakaan dan kakinya harus dijahit karena berlubang besar. Seorang dokter muda selama setengah jam bercucuran keringat mencari urat nadi kaki suamiku untuk melakukan pembiusan lokal, dan gagal menemukannya. Suamiku berteriak jengkel, dan meminta dokter yang lebih senior melakukannya. Hmmm, sungguh meragukan, kualitas pelayanan mereka.

Lanjut kisah dokter Agus mengenai gaji yang diperoleh seorang dosen di universitas yang memiliki fakultas kedokteran. Sementara, rata-rata dosen hanya dibayar Rp 120 ribu per jam mengajar. Total bagi seorang dosen kontrak bisa memperoleh gaji sebesar 2 – 3 juta rupiah. Jika mereka ingin menjadi dosen tetap, harus menandatangani kontrak untuk tidak pindah ke lain kota, atau, harus mengganti uang sejumlah 100 juta lebih. Ah... menyedihkan? Hmm, entahlah, mungkin, lebih baik, kupilih.... no comment lah. Situasi yang sungguh complicated ini bisa menjadi boom waktu yang mempengaruhi kualitas kesehatan dan kewarasan masyarakat Indonesia sendiri...

2 komentar:

  1. Saya sebenarnya pingin di pendidikan, tapi ndak ada bakat komunikasi, nanti malah ndak nyambung sama yang dididik, kan bahaya tuh.

    BalasHapus
  2. Knapa gak di coba? Cobalah keberuntungan Pak Dokter....

    BalasHapus