Jumat, 27 Juli 2018

Galungan Cina : Visual Art Exhibition Segara Lor Community at Museum Neka









Jiwa ini tidak terlahirkan dan tidak pernah binasa.
Baik di masa lampau maupun dimasa datang,
Ini juga tak akan terjadi.
Hanya badan yang rusak (binasa),
Sedang jiwa tidak (Bhagawadgita II.20)


Avidyayam antare vartamanah
Svayam dhirah….. panditam manyamana
Janghanyamanah pariyanti mudhah….
Andhenaiva niyamana yathandhah
Ketika Kebodohan tinggal dalam kegelapan,
Bijaksana tinggal dalam kesombongan mereka sendiri,
dan Kesombongan tinggal bersama pengetahuan yang sia-sia berputar sempoyongan tanpa menerima kritik atau saran orang lain,
maka, yang ada hanyalah bagai orang buta yang dipimpin oleh orang buta (Upanishad)

Rabu, 25 Juli 2018, pembukaan Visual Art Exhibition di Museum Neka, dihadiri oleh Muspika Ubud, Kapolsek Ubud, Kompol I Made Raka Sugita, Danramil Ubud yang diwakili Babinsa, Pemilik Museum Neka, Pande Wayan Suteja Neka, Penglingsir Puri Ubud, Tjokorda Putra Sukawati, Penglingsir Puri Peliatan, Tjokorda Putra Nindia, Penglingsir Puri Pemecutan, Tokoh Budayawan dan Seniman, wakil dari pers, dan para penikmat seni.

Komunitas Segara Lor merupakan kumpulan dari para alumni Jurusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Kali ini merupakan pameran yang ketiga kali nya di Museum Neka. Pameran Visual Art Exhibition ini berlangsung semenjak 20 Juli hingga 20 Agustus 2018.

JMK Pande Wayan Suteja Neka menjelaskan “Pameran Ini adalah suatu upaya menghadirkan semangat multikulturalisme yang merepresentasikan akulturasi budaya Bali dan Cina yang sudah berlangsung semenjak ber abad lampau. Sebagai suatu proses belajar agar bangsa kita bisa menghindari konflik dalam kehidupan bersama, sekaligus menghadapi tantangan terkait ke bhineka an kita, ditengah derasnya arus teknologi dan informasi, ditengah perbedaan yang terjadi, namun bisa tetap menjalin harmoni. Inilah suatu wujud nyata dari Tri Hita Karana yang sudah berlangsung semenjak jaman nenek moyang. Dan. Museum Neka berupaya berperan aktif dengan memberi ruang kesempatan bagi banyak seniman untuk berpameran di sini”.

I Made Susanta Dwitanaya selaku kurator pameran kali ini menjelaskan bahwa pada pameran kali ini terdapat karya dari ke Sembilan belas perupa, meliputi Wayan Sudiarta, Tien Hong, Komang Trisno Adi Wirawan, Made Kartiyoga, Kadek Darmanegara, Made Jendra, Nengah Arimbawa, Wayan Juni Antara, Dewa Gede Purwita, Riski Nanda Riwaldi, Nyoman Arisana, Ni Luh Pangestu Widya Sari, I Gusti Agung Prawira Yuda, Ida Bagus Pandit Prastu, I Made Hendra Putrawan, Kadek Jefri Wibowo, Putu Suhartawan. Kadek Omo Santika, Dewa Johana.
Tien Hong menjelaskan sejarah pengalaman semenjak masa kecil yang dilalui nya di sebuah desa, yakni Desa Catur, Banjar Lampu, di Kintamani. Selama turun temurun, semenjak empat generasi lampau, etnis Tionghoa bercocok tanam. Hal ini juga dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugi Lanus, dimana mereka ikut serta medesa adat, mendirikan sanggah, membuat tugu karang, aktif pada pura kayangan tiga, ikut berbagai ayahan klian adat, mecaru desa, megongan. Tidak ada bentrokan yang terjadi antara etnis Cina dan Bali, sehingga mencerminkan terjadinya akulturasi budaya yang berjalan harmonis.

“Kami ingin memperlihatkan bagaimana sebuah harmoni bisa berjalan baik bila kita memiliki niat baik”. Ada seniman yang perempuan dan juga lelaki, dengan beragam latar belakang pekerjaan yang kami miliki, dengan banyak hasil karya kami yang ditampilkan, namun semua bisa menjadi satu rangkaian yang kami persembahkan dalam bentuk pameran kali ini”, ujar ibu Pangestu, yang merupakan seorang Dosen, seniman, dan bergerak dibidang desain grafis, saat bertutur mengenai hasil karya di atas baju, hasil motif gambar dan warna dengan menggunakan komputer.

“Suami saya adalah seniman yang sedang bekerja di Luar Negeri. Dia seniman Lukis yang juga pekerja perhotelan. Bakat seni sudah muncul pula pada anak-anak saya ini”. Ujar ibu Dayu mengenai  Made Kartiyoga, suami nya yang mengikutsertakan hasil karya dengan judul Bersenyawa, Lukisan akrilik di atas kanvas.

“Saya bangga, bisa mengikutsertakan pameran hasil karya saya pada potongan kayu asem ini, pada pameran kali ini”. Tutur ibu Kiki, panggilan dari Riski Nanda Riwaldi. Setiap hasil karya membutuhkan waktu rata-rata satu bulan lebih. Seni bisa menyalurkan kreativitas positif seseorang, sehingga bisa dinikmati oleh banyak orang lain. Terlihat dinamis terpancar dari guratan bentuk dan warna yang dihasilkan ibu Kiki, bertutur tentang budaya yang terkait etnis Tionghoa, mulai dari makanan dimsum, yuebing atau mooncake atau kue bulan, tangyuan cake, kuih bakul, kuih chang, chay koeay teow atau yang lebih sering dikenal dengan kwetiaw.
Jika para seniman perempuan yang terlibat pada pameran bertajukkan Visual Art Exhibition kali ini menampilkan perpaduan dinamis warna bercorak cerah, para seniman pria memperlihatkan warna-warni yang terkadang sangat kontras. Hitam, gelap dan terang, merah, hijau, putih. Salah satu yang terlihat, adalah pada hasil karya I Wayan Sudiarta yang diberi judul Perjodohan Purba. Lukisan berukuran 120 X 150 cm ini merupakan Lukisan dengan Cat Minyak di atas kanvas.
“Cina identik dengan warna merah. Tarian dan lukisan yang menggambarkan perpaduan budaya Cina dan Bali muncul dalam warna merah yang merona, menyala, dan gerakan tarian yang berani, lembut dan gemulai, namun tegas. Saya juga munculkan itu dalam gerakan tari yang saya cetuskan, yakni Legong Lanang Nandira Jaya Pangus, pada tanggal 12 Desember 2012”. ujar salah satu tamu undangan yang turut hadir saat pameran Visual Art Exhibiton,  Anak Agung Gde Bagus dari Peliatan.
I Komang Trisno Adi Wirawan menjelaskan bahwa karya nya bercerita mengenai perpaduan budaya Cina dan Bali yang sudah berlangsung lama, hingga kini. “Saya ingin memperlihatkan bahwa bila kita bisa menjaga persatuan dan kesatuan, meski berbeda-beda sekalipun, tapi bisa harmonis. Komposisi dengan corak yang saling bertabrakan ini, bisa dinikmati oleh pencinta seni yang paham artinya, dimana hijau adalah bumi tempat kita berada, tumbuh berkembang, merah sebagai simbol Cina, menjadi satu aktivitas bersama di tengah masyarakat Bali dengan berbagai aktivitas kehidupan yang terjalin di antara mereka”.

I Komang Trisno Adi Wirawan menjelaskan bahwa karya nya bercerita mengenai perpaduan budaya Cina dan Bali yang sudah berlangsung lama, hingga kini. “Saya ingin memperlihatkan bahwa bila kita bisa menjaga persatuan dan kesatuan, meski berbeda-beda sekalipun, tapi bisa harmonis. Komposisi dengan corak yang saling bertabrakan ini, bisa dinikmati oleh pencinta seni yang paham artinya, dimana hijau adalah bumi tempat kita berada, tumbuh berkembang, merah sebagai simbol Cina, menjadi satu aktivitas bersama di tengah masyarakat Bali dengan berbagai aktivitas kehidupan yang terjalin di antara mereka”.

Ida Pedanda Manuaba (2011, Januari, di Ubud) menjelaskan bahwa akulturasi Tionghoa dan Bali sudah berlangsung pada awal abad XII. Dan hal ini mengalir dalam budaya kehidupan yang terjadi di tengah masyarakat. Baik dalam sisi ritual pemujaan sehari-hari, dalam bentuk patung yang dihasilkan, barong landung yang mencerminkan pria Bali berkulit cokelat gelap dan wanita berkulit kuninglangsat bermata sipit. Juga bahkan dalam berbagai bentuk pementasan kesenian. 

Sosok Barong Landung ini juga disertakan dalam rangkaian upacara sebagai upaya pemujaan untuk mengusir roh jahat dan membawa aura positif, menebarkan kedamaian serta kesejahteraan bagi warga masyarakat yang meyakininya. Barong Landung ini mencerminkan gambaran perpaduan dua budaya, Bali dan Cina, yang berjalan secara harmoni di Bali, yang bahkan hingga kini masih banyak dipentaskan di pulau Bali.

Dr. Made Pageh, dalam sambutan sebelum membuka pameran Visual Art Exhibition pada hari Rabu, 25 Juli 2018,  menjelaskan bahwa sesungguhnya budaya Cina dan Bali sudah mengalami perpaduan jauh semenjak dahulu, pada abad XI – XIII, yakni 1117 – 1118 Masehi. Sebelum masuknya agama Hindu dari India. Hal ini terjadi pada era kekuasan Raja Jaya Pangus yang menikahi Kang Cing Wie, anak dari Ping An, seorang saudagar kaya. Akulturasi budaya Cina dan Bali ini melahirkan representasi berupa Barong Landung. Hasil penelitian membuktikan bahwa Barong Landung ini lah sebenarnya wujud dari Agama Lokal di Bali saat itu.

Ini menjadi bukti bahwa konsep akulturasi budaya sudah terjadi dan berlangsung semenjak lama, sudah berakar semenjak leluhur, dan harus menjadi tonggak dasar harmoni yang berlangsung di tengah masyarakat pada saat ini dan seterusnya. Bahkan, Dr. Made Pageh menyebutkan dengan istilah, jangan sampai konsep monotheisme mengubah diri kita menjadi pribadi yang moneytheisme, konsep berketuhanan yang satu menjadi konsep dengan orientasi duit semata.

Pande Wayan Suteja Neka menjelaskan bahwa dinamisasi seni rupa membutuhkan keterlibatan banyak pihak, mulai dari pembuatnya, perancangnya, pemeliharanya, para pengamat, para penikmat, bahkan lingkungan masyarakat dimana seni rupa tersebut berada, termasuk pula para pemerintah dan orang-orang lain yang berperan bagi keberlangsungan budaya itu sendiri. Dan di dalam hal ini, Museum Neka membuka diri seluas-luasnya bagi berbagai elemen masyarakat yang ingin belajar, selalu berperan dalam proses seni, dan bermaksud melestarikan seni tersebut di tengah derasnya arus modernisasi yang berlangsung.

“Ini bukti dari komitmen kami untuk berperan aktif terhadap dinamika kreativitas para seniman Bali, agar bisa mendapatkan ruang mengekspresikan diri secara terbuka pada dunia luas, bahkan di tingkat dunia, secara berkelanjutan”. Ujar Pande Wayan Suteja Neka.

Tidak salah bila beliau mendapatkan penghargaan sebagai salah satu tokoh Bali “Outstanding Honorable Effort towards Sustainable Tourism in Bali”, yang disampaikan oleh organisasi BVA, di Puspem Badung pada hari Kamis, 26 Juli 2018, bersama dengan beberapa tokoh lain yang konsisten memperjuangkan pariwisata berkelanjutan pula, termasuk Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati dan I Gusti Agung Prana.



Budaya merupakan gabungan dari banyak elemen. Dari Koentjaraningrat, Taylor, James Spradley, dan berbagai tokoh besar sudah mengulasnya berkali. Dan untuk menjadikannya harmonis, bernilai estetis, serta bermanfaat, membutuhkan komposisi yang sesuai, sehingga bisa berkelanjutan dalam waktu panjang, bahkan, diwariskan secara turun temurun (Santidiwyarthi)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar