Sabtu, 13 Oktober 2018

Titi Wangsa, Kun Adnyana dan Museum Neka, 12 - 30 Oktober 2018


Kun Adnyana adalah sebuah ikon anti kemapanan. Ya, betapa tidak. Sebuah metamorphosis perjalanan panjang tiada henti dan tiada kenal lelah yang tergambar bila berbicara tentang beliau dan setiap karyanya. Beberapa seniman memiliki pola baku dan pakem tertentu dalam berkarya, beberapa seniman lain hanya berkutat pada segelintir karya. Beberapa lainnya, setelah menghasilkan sebuah karya fenomenal, kemudian menghilang pergi. Namun Kun memperlihatkan diri dalam beragam karya tulis, juga seni lukis, dalam berbagai bentuk, gerak, ruang, dan periode waktu. Ini membuat Kun Adnyana layak disebut sebagai Budayawan Ikonik Anti Kemapanan




Terlahir tahun 1976, Putra Bangli ini menamatkan program master pada Institut Seni Jogjakarta, dan terdaftar sebagai tenaga pengajar di Institut Seni Indonesia di Denpasar semenjak tahun 2003. Berbagai pameran, baik bersama maupun solo telah dilaksanakannya, semenjak tahun 2003 dengan topik Kamasukha,  di Gallery Genta, Ubud, 2009 di Jogja, 2011 di Jakarta, dan berbagai tempat lainnya. Berbagai penghargaan juga telah diraih sebagai bukti kedewasaan dalam berbagai karya, baik seni lukis, karya tulis, juga jenjang pendidikan yang dicapai Kun Adnyana, seperti pada tahun 1996 sebagai pemenang pertama lomba seni lukis remaja dalam rangka kompetisi terkait hari jadi Parpostel IX se kota Denpasar, tahun 1998 sebagai pelukis terbaik dengan topic Kamasra Price, tahun 2002 sebagai lulusan terbaik ISI Denpasar, 2006 memperoleh Widya Pataka Award dari Gubernur Bali terkait Penulis Seni Visual (Visual Art Writer), 2008 sebagai lulusan terbaik ISI Jogjakarta.



Kun Adnyana meraih gelar Doktor setelah berhasil melalui tahap Ujian Sidang Terbuka pada tanggal 9 Oktober 2015. Topik penelitiannya terkait dengan ideologi estetika seni lukis Bali 1930 an, terkait dengan berbagai agen yang terlibat dalam gerakan yang secara resmi kemudian diberi nama Pita Maha semenjak 29 Januari 1936. Riset disertasi secara mendalam menghantarnya pada suatu kesimpulan bahwa gerakan sosial seni terlahir karena seluruh potensi modal (baik itu berupa simbolik, budaya dan ekonomi) bekerja secara terpadu dalam habitus kebaruan.  



Hal ini menjelaskan bahwa seni dan budaya, mau tidak mau, suka maupun tidak, akan senantiasa bergulir mengikuti perkembangan jaman, sesuai dengan jiwa jaman masing-masing (Zeitgeist). Ini juga tercermin pada beragam karya yang dihasilkan Kun Adnyana, bahwa konsep estetika sebagai ideologi yang dimiliki seniman juga akan dipengaruhi oleh konsep spiritual dan jiwa merdeka dari sang seniman itu sendiri. 

Kun dengan bebasnya bisa menggabungkan berbagai tokoh komik seperti superman pada karya nya, berbagai warna warni permen pada sapuan kuas di atas kanvas, hingga guratan-guratan yang berbeda dari tersamar, jelas terlihat, hingga tekanan ekstrem dan kontras di setiap sapuannya pada satu bidang kanvas yang sama. Hanya seniman yang telah menguasai dirinya serta memiliki potensi keahlian tinggi yang berani bermain pada level ini, karena tidak membiarkan pakem pakem atau pola karya tertentu berlaku sepihak dan berkelanjutan pada dirinya. Namun tetap bisa dinikmati oleh pencinta seni secara luas, bahkan, berhasil mendorong banyak pihak meninggalkan kotak mapan dan zona amannya.



Terkadang, orang yang sudah tiba pada suatu level hidup nyaman, dan berada pada zona aman, takkan mau berpaling pergi mencoba hal baru. Namun tidak demikian dengan Kun. Gelar Doktor yang diraih memperlihatkan kematangan logika yang terlah terlatih dan teruji secara ilmiah, sehingga layak disebut master yang kompeten atau piawai pada bidang seni dan budaya. Berpuluh tahun secara terus menerus berkarya tiada henti, sehingga ratusan karya seni dan juga tulisan yang dihasilkan, memperlihatkan bahwa Kun memang layak dijadikan teladan, bahwa seorang seniman besar adalah seniman yang setiap karyanya terus bergulir mengalir dan hadir, agar dapat dinikmati oleh banyak orang, tidak hanya . Dan, pameran tunggal kali ini memperlihatkan kualitas serta kuantitas karya seorang maestro, yang membuka diri seluasnya bagi banyak orang, dan siap menerima kritik dan saran terbuka atas karya yang telah dihasilkan. 

Bahkan, Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menjelaskan dalam kata sambutan di saat pembukaan pameran seni lukis bertajuk Titi Wangsa, Presiden berharap seniman dan budayawan bisa menjadi garda terdepan dalam menyuarakan kemanusiaan di tengah masyarakat, memotivasi masyarakat untuk senantiasa bergerak secara positif dengan menganalisis situasi menggunakan logika, tidak semata emosi tanpa pertimbangan matang. Disini lah peranan seniman, budayawan sebagai penyeimbang di tengah masyarakat, menjaga harmoni, ikut menciptakan perdamaian, memperhalus budi, dan berkarya secara positif di tengah situasi yang senantiasa bergerak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar