Minggu, 30 Mei 2010

Kembali ke Nusa Penida, Salah Satu RumahMu, Tuhan...

Berkali kudapatkan sms ini. Namun tidak pernah bisa kuikuti acara mereka berangkat adakan perjalanan tirtayatra ke berbagai tempat spiritual yang bangkitkan kerinduan akan religiusitas dalam diri. Kali ini bunyinya "Perjalanan Suci Cahaya Padma ke Nusa Penida, Jum'at 28 Mei 2010. Sembahyang di Pura Goa Giri Putri, Pura Puncak Mundi, Pura Dalem Bungkut, mekemit di Pura Penataran Peed. Biaya satu kali penyeberangan 16.000 / orang. Transport di Nusa 50.000 / orang. Pendaftaran di Hayam Wuruk mulai hari Rabu dan Kamis, 26 & 27 Mei 2010".

Hmm...
Tiga tahun sudah, telah berlalu, semenjak aku berangkat bersama rombongan para pemangku dari Sangsit, Singaraja, menuju pulau Nusa Penida, melakukan perjalanan persembahyangan bersama. Dan kini, ada tawaran untuk kembali hadir ke Rumah Tuhan ini. Sungguh, getaran kalbu menggelora dan berkecamuk dalam dada. Hyang Widhi, aku kangen padaMu. Rindu ini hadir kembali, berkali dan berkali...

Ingin aku berangkat bersama suami dan kedua anakku. Namun, si sulung harus menerima ijasah SMP nya hari Sabtu pagi. Si kecil, menolak ikut karena kakak tidak ikut. Dan, suamiku memilih konsentrasi pada disertasinya, sambil menemani anak-anak di rumah. Beberapa sahabat spiritual yang berkali adakan perjalanan bersama sudah memastikan tidak ikut. Marlon dan Nanangnya, juga ibunya, tidak bisa. Sri, tiada berita, juga Uchie, namun Dian memastikan akan ikut.

Maka, kubersiap diri. Sukra Umanis Langkir, Jum'at, 28 Mei 2010. Tiga pejati, jas hujan karna cuaca yang tidak menentu, seperangkat baju ganti, bekal makanan selama di jalan, dan 50 canang beserta dupa terharumku. Jelang berangkat, pk 7.00 pagi hari Jum'at tanggal 28 Mei 2010, motorku kudapati ban belakangnya kempes. Motor kedua, bensinnya habis sama sekali. Hmm, masih ada 2 motor lagi, namun, kuminta simbok mengantar untuk mencari taksi di pinggir jalan. Namun dengan suksesnya kudapati tak satupun taksi, hingga tiba di persimpangan jalan Teuku Umar dan Imam Bonjol. Hujan turun menggelitik wajahku yang menanti berharap ada satu atau dua sarana bakal menghantar ke tempat pemberangkatan. Sungguh cobaan di awal perjalanan. Ah. bersyukur seorang bapak tukang ojek lewat. dan aku bisa segera meluncur bersamanya. Tiba di Bali Clinic Beauty Center ini, kudapati bahwa Dian juga tidak bisa ikut karena diajak ibunya memancing dalam rangka pengumpulan dana sebuah kegiatan sosial. Hmmm...

Ada sekelompok orang yang sudah tiba terlebih dahulu. Jujur, tidak ada satupun di antara mereka yang telah pernah kukenal. Aku tidak pernah ikuti perkumpulan ini. Namun, sejauh niatan kita baik, maka kuyakini semua akan berjalan baik pula atas nama Tuhan... Aku ditempatkan dalam sebuah mobil kijang inova hitam bersama dengan Ibu Lis, Ibu Dayu Surastini dan Bapak Mangku Gusti Ngurah Suteja yang berdiam di Perumnas Monang Maning, PakMan, dan Ibu Liesyan yang tinggal di Desa Beraban, Banjar Batan Buah Kelod, Tabanan.

Pukul 9.00 kami berangkat, tiba pukul 10.00 di depan Pura Goa Lawah. Hujan turun semakin deras, namun tidak menyurutkan langkah kami dari 5 mobil beraneka jenis yg beriringan, dari APV, kijang Innova, toyota avanza dan suzuki ini. Kami bergabung dengan rekan lain yang telah berkumpul di wantilan Pura, mendengarkan wejangan dari sang guru yoga, dr. Made Astawa, mengenai rencana kegiatan perjalanan kami. Ada sekitar 125 orang berkumpul dan duduk bersila. Lalu dilanjutkan dengan persembahyangan bersama. Tiba waktunya melanjutkan perjalanan. Pukul 11.30 kami tiba di pelabuhan Padang Bay. Informasi yang kami dapatkan, Roro baru akan tiba pukul 15.00 dari pulau Nusa Penida. Hmm, bakal jadi waktu yang panjang menunggu kapal tiba. Kusempatkan diri menjelajah seputran pelabuhan. Dari para pedagang yang menjajakan berbagai jenis makanan dan minuman ringan, para penumpang yang tertidur kelelahan menanti keberangkatan, anak yang merengek minta mainan, para supir yang diskusi dengan sesama pedagang kacamata sambil nikmati minum kopi, hingga kujumpai Sabar, sahabat yang merupakan dosen baru di STP Nusa Dua Bali. Dia berangkat bersama rombongan teman-temannya, juga dengan tujuan Pura Dalem Peed.

Setelah sempat tertidur di deretan kursi penunggu pelabuhan, menikmati makanan berupa nasi goreng yang kubeli di pasar Sri Kerthi pagi harinya, akhirnya, aku dan para penumpang lainnya pada pukul 16.00 memasuki kapal ber cat merah yang bakal membawa kami menyeberangi lautan menuju pulau Nusa Penida. Penumpang penuh sesak di ruang penumpang ini, ibu pedagang menjajakan makanan berkeliling, terlihat tumpukan barang bawaan di bagian depan deretan kursi dan di beberapa bagian lainnya. Tak tega kulihat seorang ibu menaiki tangga dan melirik kalau-kalau masih ada kursi kosong bagi dia dan anak yang digendongnya. Kupanggil dia, namun tak dilihatnya. Setelah berkeliling, dia kembali ke bagian depan dari deretan kursi penumpang, kusentuh lengannya dan kutawarkan kursiku. Aku bergegas bangkit, dan duduk di jejeran anak tangga. Bukan cuma sekedar idealisme, namun apa salahnya jika berbuat sedikit kebaikan di tengah dunia yang penuh kompleksitas ini...

Pukul 17.30 kami merapat di pelabuhan pulau Nusa Penida ini. menaiki mobil yang berada di deretan parkir. Sekali sewa bagi route tujuan ke Pura Goa Giri Putri, Pura Puncak Mundi, Pura Penataran Peed, dan kembali ke pelabuhan adalah sebesar Rp. 450.000. Mobil muat bagi 10 orang di bagian belakang, dengan duduk saling berhadapan. Sahabat ku dalam perjalanan itu adalah Bapak Dewa dari Desa Pacang Sari, Bedugul. Mereka ber 40 orang berangkat dari Bedugul untuk bergabung di pelabuhan Padang Bay dengan rombongan bapak dr. Made Astawa dalam perjalanan spiritual kali ini. Ada pula Bayu, pemuda yang baru menamatkan pendidikan SMA nya, dan akan kuliah di IHDN Program Ayurveda bulan September kelak, dia baru menempuh perjalanan 3 jam berkendaraan motor dari Pulaki, Grokgak, Kabupaten Jembrana. Orang tuanya tinggal disana. Ah, sungguh beragam warna yang ada di tengah masyarakat yang tunjukkan identitas kita pula. Denpasar, Singaraja, Gianyar, Klungkung, Jembrana, berpuluh desa berbeda. Alangkahnya indahnya sebuah toleransi dan kebersamaan.

Perjalanan berliku menyusuri pinggiran pulau memberikan pemandangan menakjubkan. Hamparan panen tanaman rumput laut yang dijemur sepanjang jalan, laut yang menghijau bergelombang, para petani rumput laut yang membersihkan areal tanaman laut agar siap di olah kembali, jukung yang berjejer karena istirahat dari ombak ganas dengan layar kain tergulung rapi. Hmmm... suasana pinggir pantai yang tak kan terlupa. Dan, akhirnya, kami tiba di depan pura. Turun dari mobil, menurunkan banten yang akan dipersembahkan bagi Tuhan dan segala manifestasi Beliau, bersiap menaiki undagan yang berdiri menjulang, menantang, di hadapan mata. Kusempatkan diri mengambil beberapa foto sebelum menggerakkan kaki lebih jauh lagi.

Selesai bersembahyang di Pura Goa Giri Putri dengan dihantar oleh doa dan mantra suci Mangku Gede Satya Darma, kami beranjak turun ke dalam Goa. Sungguh sebuah lubang kecil untuk masuk ke dalam perut bumi. Namun, segemuk apapun orang, dia bisa masuk kesana jika memang sungguh niatnya untuk bersembahyang. Banyak pendapat yang membuktikan pengalaman mereka, tidak setiap orang bisa masuk dan melakukan persembahyangan di sana. Hmm, bersyukur ku panjatkan, kini kudapat kembali kesempatan itu, masuk dan menghaturkan puja dan puji syukur di rumah Tuhan ini untuk yang kedua kalinya, setelah tiga tahun lebih berlalu...

Setelah berjalan dengan berjongkok selama lima belas langkah, kami tiba pada sebuah gua yang sangat besar dan tinggi, berukuran lebih dari tiga lapangan sepakbola, dengan pola unik dan indah pada bagian langit nya, sungguh sebuah karya alam selama sekian ratus tahun. Ada 5 pelinggih di dalam Goa. Pelinggih Ida Hyang Besuki, Pelinggih Ida Hyang Dewi Gangga. Pelinggih Ida Hyang Giri Pati. Pelinggih Ida Hyang Giri Putri. Pelinggih yang merupakan gabungan dari Ida Hyang Siwa Amertha, Ida Hyang Sri Sedana, Ida Hyang Ratu Manik Mas Melanting, Ida Hyang Ratu Syahbandar dan Ida Hyang Ratu Dewi Kwan Im.

Selesai bersembahyang di pelinggih Ida Hyang Besuki, kami melukat di pelinggih Ida Hyang Dewi Gangga, dinginnya malam tidak membuat kami gentar, air sejuk basahi rambut dan wajah, bahkan sebagian pemedek sengaja membasahi sekujur tubuhnya merasakan nikmat anugerah tirta Beliau, yang, entah kapan lagi dapat kami temui. Lalu kami lanjut bersembahyang di pelinggih Ida Hyang Giri Pati, setelah selesai, menaiki undagan anak tangga yang lumayan curam menuju pelinggih Ida Hyang Giri Putri, dan pelinggih Payogan, namun kini undagan tersebut sudah ber semen. Kuingat, tiga tahun lalu masih berupa anak tangga dari besi yang sungguh menggetarkan nyali jika menapakinya. Kemudian rombongaku melanjutkan bersembahyang ke pelinggih yang merupakan gabungan dari ida Hyang Siwa Amertha, Ida Hyang Shri Sedana, Ida Hyang Ratu Manik Mas Melanting, Ida Ratu Syahbandar, dan Ida Ratu Dewi Kwan Im. Aroma lembab dan tanah goa yang basah mengentalkan suasana spiritual yang terlahir dari niat bersungguh dalam menyatakan kebesaran Sang Hyang Widhi Wasa. Namun, jika tiada lampu penerangan yang disediakan pagi para pemedek yang tangkil bersembahyang, sungguh tidak menyenangkan berjalan di tengah kegelapan ini. Seakan tiada tuntunan dalam hidup kita.

Waktu sudah menunjukkan jelang pk. 9.00 malam saat keluar dari mulut Goa. Kami beriringan menuruni anak tangga berjumlah 100 lebih itu, menuju deretan mobil yang sudah menanti untuk melanjutkan persembahyangan pada tujuan pura berikutnya. Hujan turun semakin deras, kupercepat langkahku, melompat naik ke dalam mobil sewaan, dan menunggu kehadiran teman-teman lainnya. Ah, kubayangkan, perjalanan orang-orang lain yang gunakan motor untuk mencapai pura ini, kubayangkan mereka yang memikul berbagai bahan bangunan untuk memperindah dan melengkapi bangunan pura, dalam berbagai situasi dan kondisi. Hmm, derita ku belumlah seberapa, tekadku masih lah kalah, rencanaku tidaklah sejeli dan sebesar mereka, para pejuang di jalan agama ini... Tuhan, ajarkan aku untuk selalu rendah diri, mampu kendalikan segala emosi dan angkara murka yang kerap melanda jiwa, sehingga menyakiti dan menyiksa diriku sendiri, juga orang lainnya.

Mobil kami merayap, merambat, menyeruak malam, jalan yang rusak, hujan yang hembuskan hawa semakin dingin di malam gelap. Tujuan kami berikutnya adalah Pura Dalem Krangkeng dan Pura Puncak Mundi yang terletak pada satu lokasi. Sekitar satu jam perjalanan dengan berkendara mobil yang kami sewa ini. Tiba di lokasi yang kami tuju, istirahat sejenak dengan se butir pisang susu yang diberikan ibu Liesyan, kucakupkan tangan memulai persembahyangan. Hujan yang jatuh luruh menimpa wajah dan basahi tubuh, duduk kami bersimpuh seakan tidak mampu tergeserkan cuaca alam yang kurang ramah. Sungguh, disini tidak ada beda antara tua dan muda, kaya dan miskin, kuat dan lemah, berbagi canang dan dupa bagi sesama rekan peserta bersembahyang bersama, semua duduk dalam hening memuja kebesaran nama Tuhan.

Pukul 23.30 malam, rombongan kami tiba di wantilan Pura Penataran Peed. Sudah ada sekitar 20 orang yang duduk di dalamnya. Tiba waktunya membersihkan diri, mandi di tengah malam, mengganti pakaian yang basah dengan satu stel pakaian sembahyang, dan bersiap melanjutkan pemujaan. Ada deretan kamar mandi berjumlah 12 yang disediakan bagi para pemedek. Atau bisa juga dengan penumpang di rumah-rumah penduduk. Selesai mandi, masih cukup waktu untuk menikmati santap malam. Kubeli empat bungkus nasi putih yang kami nikmati bersama dengan lauk ikan pindang cakalan bumbu bali asem manis yang kubawa dari rumah. Lalu kusempatkan diskusi dengan Pemangku Suar yang kali ini bertugas sebagai pemuput di Pura Penataran Peed. Beliau jelaskan, bertugas dijadwalkan berganti setiap 2 X 24 jam.

Pukul 00.30 dini hari Sabtu, tanggal 29 Mei 2010, kami mengawali persembahyangan di Pura Segara. Kisah yang diantarkan salah satu pemangku dalam diskusi sungguh memperlihatkan bahwa mereka juga sudah dibekali dengan teknik guiding. Sungguh modal awal yang bagus dalam mengembangkan proses bimbingan umat semakin lebih baik dan bijak lagi dari hari ke hari... Ku bawa pejatiku ke hadapan meja untuk menghaturkan persembahan. Menata canang yang kubawa di lantai pura, dan mulai bersila mempersiapkan diri bersembahyang. Selesai bersembahyang, tak lupa, kumintakan tirta suci bagi keluargaku yang tidak sempat ikut mendampingi ku dalam perjalanan ini. Juga kusempatkan diri mengambil beberapa gambar dari kamera murahan yang kubeli agar kumiliki foto sebagai kenang-kenangan bagi perjalanan spiritualku ini. Berikutnya adalah Pura Taman. Sebuah pura unik yang terletak di bagian tengah, dikelilingi oleh kolam air berisi bunga dari tanaman tunjung, namun malam gulita yang kurang ramah bagi kami membuat beberapa gambar indah tidak bisa kudapatkan.

Kembali ke lokasi di dekat wantilan, kuambil jerigen air berwarna merah yang kupersiapkan dari Denpasar. Lalu rombongan kami masuk ke halaman Pura Dalem Ratu Gede, memindahkan air tirta ke dalam jerigen, membiarkannya selama sepanjang malam dan baru diambil jelang pagi hari. Lalu kami memulai bersembahyang disini. Setelah berakhir, aku beranjak mendekati tempat duduk Pemangku. Aku berharap dapatkan gelang yang terbuat dari benang Tri Datu, berwarna merah, hitam dan putih. Namun, pemangku Suar katakan, benang Tri Datu hanya diberikan jika saat upacara keagamaan berlangsung. Hmmm, tidak mengapa, bukankah Tuhan berikan karunianya dalam banyak cara dan bentuk?

Terakhir adalah Pura penataran Peed. Kuhaturkan pejati terakhir, menurunkan canang berisi segehan, merapikan tatanan pejatiku, dan mengambil posisi bersembahyang, bersiap mengawali puja ku.

Akhirnya, kulirik sang waktu, jelang pukul 3 pagi. Kami akhiri seluruh rangkaian persembahyangan, bergerak menuju wantilan. Ada sebagian yang telah terlelap, sebagian lagi tetap melanjutkan obrolan, sebagian menikmati lungsuran berupa ketupat dan saur.

Pukul 6.30 pagi, kami berkumpul kembali di wantilan, duduk bersila atau bersimpuh mendengar wejangan Sang Guru, dr. Made Astawa. Bersyukur bahwa betapa sebuah perjalanan dalam memuja kebesaran Tuhan terkadang tidaklah gampang. Ujian berliku dengan hujan, waktu lama menunggu kapal Roro, perjalanan malam hari, jalan rusak, bukti perjuangan kami. Lalu, kami lanjutkan dengan Yoga dan samadhi. Walau ini adalah kali pertama kugabung dengan mereka dalam ber yoga bersama kelompok ini, sedikit banyak, aku tahu karena pola yang sama dengan Yoga Asanas yang ada di Kampus kami. Maka, tidak ada kesukaran ikuti tiap gerakannya. Tiba-tiba, Pemangku Gusti Komang Suteja terjatuh, ah.. rasa lelah yang mendera akibat perjalanan jauh seharian, kondisi tubuh yang telah tua, penyakit tensi tinggi yang diderita, membuat kesehatannya drop. Dr. Made menghampiri, memberi pijatan lembut di beberapa anggota tubuh, dan meminta pemangku ini untuk tetap berbaring. Berikutnya, dalam gerakan menggeser kaki untuk bergerak ke belakang, terdengar lagi suara gedebuk. Seorang peserta terjatuh karena pijakan kaki yang licin. Ia tergelincir hingga jatuh ke tanah dari posisi wantilan yang lumayan tinggi, setengah meter. Ah.. sungguh, sehat itu mahal, dan upaya sehat juga melibatkan proses yang membutuhkan pengorbanan. Harus lebih berhati2. Setengah jam kemudian, acara kami berakhir. Menunggu keberangkatan pukul 9 pagi ke pelabuhan Nusa Penida, ada yang memanfaatkan dengan ber japa di dalam Pura Dalem, ada yang dengan menikmati suasana di sekeliling wantilan dan Pura.

Pukul 9.00 lebih sedikit, rombongan kami yang terdiri dari 11 mobil sewaan berangkat bersama, bergerak beriringan menuju pelabuhan untuk menyeberang kembali ke pulau Bali. Tuhan Yang Maha Agung, Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Entah kapan lagi, aku bakal bisa jejakkan kaki untuk melangkah memasuki rumahMu ini di sini. Jangan pernah tutup pintuMu dariku, walau bakal lama lagi baru kutiba disini, jangan tolak aku, Tuhan, jangan pernah abaikanku, jangan tinggalkan aku sendiri.

Kamis, 27 Mei 2010

Buat "Anak2ku", Putu Liong & Putu Krisna Pradnya Permana

Pak Henkykuntarto katakan dalam dinding indah miliknya, mencintai tanpa syarat adalah memberi kebebasan tanpa syarat untuk membuat sebanyak mungkin kesalahan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Reinkarnasi adalah kebebasan utama dari sang pencipta kita yang memberikan kita kesempatan kembali sebanyak yang diperlukan untuk mencapai pengalaman yang diinginkan. Tidak ada Cinta yang bisa lebih besar dari itu. Ini adalah hak asasi yang dikenal oleh jiwa sebelum terlahir ke dalam dunia fisik ( http://henkykuntarto.wordpress.com/2010/05/27/reinkarnasi-adalah-cinta-tak-bersyarat/ ).

Maka, ini menjelaskan bahwa Takdir yang berlaku bagi setiap dari kita, Karma yang mempertemukan seseorang, sekaligus juga, Reinkarnasi, adalah pilihan yang sangat nyata bagi kebanyakan dari kita semua yang ada di dunia. Ini juga merupakan pilihan, sebuah pilihan akan kebebasan yang datang dari cinta yang tanpa syarat. Sebagian besar dari kita akan kembali, dan membawa kehidupan kita selanjutnya ke dalam tubuh baru, yang telah dilengkapi dengan dunia baru yang telah kita bangun dari generasi ke generasi. Ini adalah pemikiran jangka panjang yang konsisten dengan kecenderungan alami bagi kehidupan untuk selalu bergerak menuju tingkat yang lebih tinggi dari pengalaman.

Jangan pernah berpaling dari beban tugas dan tanggungjawab dalam dunia nyata, berlaku munafik dan melarikan diri hanya akan melukai diri kita sendiri, sekaligus orang-orang terkasih. Tumbuhlah terus, jadi anak yang tegar, teguh kukuh dalam jalani bingkai kehidupan, dengan jiwa spiritual yang semakin shanti dan dewasa.....

Jumat, 21 Mei 2010

Mekutang Bok saat Sukra Wage Kuningan, dan.. Paica Hyang Widhi

Walau bukan seorang penata rambut dan tanpa pernah ikut kursus potong rambut, pengalaman memotong rambutku sudah berawal sejak dari masih duduk di bangku SD. Korban pertamaku adalah kakak, yang rambut ikal panjang dan indahnya ku babat hingga pendek. Berlanjut kemudian para sahabat, suami, ipar, dan, anakku sendiri saat mereka selesai melalui upacara dua otonan.
Dan kini... ponakanku menyelesaikan upacara "Duang Oton" yang diselenggarakan baginya. Kadek Ari Dwiandika namanya. Ku kuris habis rambutnya hingga gundul, sementara dia dipangku oleh ibunya. Perlu waktu hingga 45 menit, sebelum dihapus dengan suara tangis karena bosan harus duduk manis, walau banyak yang coba merayunya dengan beri berbagai makanan dan mainan. Untungnya berhasil kuselesaikan juga.

Sungguh, sebuah perjuangan unik untuk membabat habis rambut seorang batita hingga plontos. Belum lagi termasuk harus mencari bungan tunjung secara mendadak demi melengkapi rangkaian upacara. Setelah berpusing-pusing di jalan raya sepanjang Antasura, akhirnya kuperoleh anugerah Beliau di Pura Catur Sari Kandapat. Kutemukan tunjung berwarna putih dan kuning yang sedang mekar dengan indahnya. Dipetik dan diberikan langsung oleh MbGeg Desak Ayu. Astungkara....

Otonan adalah rangkaian upacara yang menunjukkan bahwa usia seseorang bertambah lagi. Pengguntingan rambut saat satu atau dua oton sebagai pertanda bahwa anak siap memasuki gerbang kehidupan lebih lanjut, harapan agar dia terhindar dari segala ancaman dan gangguan.

http://pasektangkas.blogspot.com/2007/11/otonan.html
jelaskan bahwa potong rambut disaat satu oton bermakna simbol pemujaan terhadap Tuhan dan segala manifestasiNya juga leluhur, harapan agar sang anak terhindar dari segala bahaya dan penyakit sepanjang kehidupannya.

Wayan Ritiaksa, (Warta Hindu Dharma No. 488 Agustus 2007) menjelaskan bahwa Otonan atau Ngotonin merupakan peringatan hari kelahiran berdasarkan satu tahun wuku, yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan sama persis dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).

Otonan diperingati sebagai hari kelahiran dengan melaksanakan upakara yadnya memiliki pengaruh psikologis terhadap yang melaksanakan otonan, karena bersamaan dengan doa juga dilakukan pemberian simbol-simbol sebagai telah menerima anugerah dari kekuatan doa tersebut.

Sebagai contoh : Melingkarkan gelang benang dipergelangan tangan si empunya Otonan ber makna simbolis agar hati selalu di jalan yang lurus/benar, kelenturan hati yang otonan dan tidak mudah patah semangat. Benang memiliki konotasi beneng dalam bahasa Bali berarti lurus, karena benang sering dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus.

Sedangkan dari ucapannya doa tersebut memiliki makna pengharapan agar menjadi kuat seperti memiliki kekuatannya baja atau besi. Disamping kuat dalam arti fisik seperti kuat tulang atau ototnya tetapi juga kuat tekadnya, kuat keyakinannya terhadap Tuhan dan kebenaran, kuat dalam menghadapi segala tantangan hidup sebab hidup ini bagaikan usaha menyeberangi samudra yang luas. Bermacam rintangan ada di dalamnya, tak terkecuali cobaan hebat yang sering dapat membuat orang putus asa karena kurang kuat hatinya.

Keluhuran makna doa yang diucapkan dalam sebuah upacara otonan bagi masyarakat Hindu Bali yang dikemas dengan simbolis yang dapat dimaknai secara fisik maupun psikologis, dengan harapan agar putra-putri yang menjadi tumpuan harapan keluarga mendapatkan kekuatan dan kemudahan dalam mengarungi kehidupan.

Rabu, 19 Mei 2010

Sejenak Bersama Cahya Legawa, Si Haridiva...

Dewi Cahya katakan: "Om Sri Sai Divyajnaaya Namah". Salutations to Sri Sai, the One who has divine knowledge. Puji hormat hamba pada Sri Sai yang mempunyai pengetahuan Ilahi.

Ini doa dan harapan yang mempertegas agar tiap orang selalu berusaha,penuh daya upaya, tidak takut mengambil resiko dan peluang. Tiap orang dituntut untuk selalu penuh semangat. Lebih baik mengawali dengan mencoba dan menghadapi resiko gagal, daripada tidak melakukan apa-apa, hanya duduk diam termangu dan ketakutan memulai sesuatu.

Hmmm, setuju sekali...
Hidup ini terlalu indah untuk dibawa berlarut pada kesedihan, pada ego dan konflik yang sering melanda dan mengganggu perilaku, pada kompleksitas duniawi yang sering menimbulkan keraguan dan ketakutan hadapinya, pada dorongan suicide yang buat orang jadi pesimis dan tidak hargai dirinya sendiri.

Maka, kagumku pada Cahya Legawa, sahabat yang tidak pernah kujumpai sebelumnya. Dia berhasil tiba di STPNDB, setelah hampir gagal karena ketiadaan kendaraan, karena masih berkunjung ke Mengwi, karena jarak yang jauh, karena alamat yang belum pernah ditemui, karena walau berbekal GPS namun masih tersesat sampai ke kawasan perhotelan di Nusa Dua yang berada di bawah pengelolaan PT BTDC.

Kuajak dia berkeliling, mengenal kampus ini, berbagai aktivitas yang ada saat itu, dengan mahasiswa prog. ekstensi yang sedang persiapkan program cocktail party dan dinner yang akan diselenggarakan sore hari, para dosen yang sedang berkumpul berikan materi banana flambee bagi mahasiswa prog. reguler, mahasiswa DIV Administrasi Perhotelan smt 2 dan DIII MTB A smt 2 yang sedang praktek di dapur, hasil praktek rangkaian bunga meja dari mahasiswa DIII MDK, bergerak dari satu building ke building lain, dan hotel Langoon Resort & Spa, berbincang di bibir kolam renang.

Hmm, banyak karya tulis yang gambarkan kekuatan pemikiran Cahya Legawa, kuikuti dari blog yang dia buat. Sungguh iri hatiku... andai, bisa dapatkan setengahnya saja dari kemampuan yang dia miliki.. dari karya sastra, ilmu kedokteran, pengetahuan, perjalanan hidupnya, cita dan cinta, dan masih sangat banyak yang lainnya lagi...
Betapa, hidup ini begitu indah untuk selalu diisi dengan berbagai hal positif, walau terkadang terpuruk dan alami gangguan kesehatan, namun, jangan menyerah untuk selalu berkarya, karena Tuhan akan selalu dampingi kita. Kita tidak pernah benar-benar sendiri, tidak pernah ditinggalkan sendiri, dengan segala bimbingan dan tuntunan Beliau, semoga shanti akan dapat dicapai selalu....

Dewi Cahya benar....
Selalu ada sinar Sang Hyang Widhi dalam setiap yang kita alami dan kita temui, dalam diri kita. Tugas kita temui itu, dan sadari bahwa kita memilikinya, sebagai pedoman jalani hidup, untuk tidak gampang menyerah, se keras apapun cobaan yang ditemui...

Selasa, 18 Mei 2010

Mellow di Larut Malam...

Green Day dengan lagu 21 Gun mengalun perlahan...

Do you know what's worth fighting for,

When it's not worth dying for?
Does it take your breath away
And you feel yourself suffocating?
Does the pain weigh out the pride?
And you look for a place to hide?
Did someone break your heart inside?
You're in ruins


Hmm, entahlah, malam ini ingin ku kenang sujatinya perjalana hidup.

Hati beku dan syahdu, bagi tiap denting langkah kaki beradu.
Kulihat orang terpuruk berkali dan berkali
Jumawa berkali dan berkali...
Sejauh mana kami bisa tetap bertahan,
tegak ayunkan arah padamu, Tuhan.

Untuk apa ada selalu konflik ini?
Mengapa Kau cipta segala kompleksitas hidup
jika sesungguhnya dengan mudah bisa Kau seret kami
ada mendekat pada Mu?
Agar kami tahu tegar dan teduh?
Ah...
Mellow di Larut Malam...
Sudah di akhir jalankah aku kini?...


When you're at the end of the road
And you lost all sense of control
And your thoughts have taken their toll
When your mind breaks the spirit of your soul
Your faith walks on broken glass
And the hangover doesn't pass
Nothing's ever built to last
You're in ruins


You and I

Jumat, 14 Mei 2010

Julian Fumihiro Nakanishi Soenaryo, Kutukan Karmaku, atau Motivator ?

Prof. Ardika pembimbingku dahulu pernah berkata keras, "Lima saja saya punya murid seperti Ibu, saya bisa kena serangan jantung dan mati stroke !! Datang lagi minggu depan !! ". Beliau berkata demikian untuk mengomentari perilaku ku dalam menjalani hari-hari bimbingan dahulu. Duduk diam dengan manisnya dari pukul tujuh pagi di depan ruang kantor Beliau, dengan ber bekal bbrp buku, terkadang hingga pukul dua belas. Berharap Beliau tiba dan beri bimbingan, lalu kabur untuk ngebut perbaiki, kembangkan, analisis, tambahi, kurangi berbagai aspek yang ada pada tesisku. Lalu lanjut setor lagi, dan kembali ulangi proses setor muka berkali dari pagi.

Banyak mhs prog. S2 atau S3 yang enggan, baru kembali hingga 2 bulan setelah bimbingan terakhir, atau takut jika dapatkan dampratan Beliau. Bahkan pernah, dalam situasi khusus, sudah di depan ruang kantor tersebut, ku dapati informasi anak sulungku alami kecelakaan, anak bungsuku terlunta di sekolah belum dijemput simbok yang jatuh sakit, suami sedang bertugas ke Jakarta, dan aku masih berusaha bisa dapatkan tesisku untuk bisa segera diolah kembali ....

Dan, kini kudapati mahasiswa bimbingan skripsi si Fumi....
Brondong ini serahkan Nota Dinasnya bulan Maret awal, kemudian dia selalu muncul di sekelilingku, pagi awal sebelum mulai masuk ke kelas, atau saat siang istirahat, atau di akhir sore hari jelang pulang kerja. Dia diskusikan topik skripsinya, ajukan berbagai pertimbangan, lakukan perubahan perbaikan, bertanya ttg isi skripsi melalui face book, mengirim pesan singkat di handphone untuk ijin bimbingan. Dan kemarin, aku sedang melaju ditengah hujan deras di jalan raya Gilimanuk - Denpasar malam hari, dia bertanya via short message service di HP ku jika ada kemungkinan untuk bimbingan hari Jum'at pagi. Termasuk pagi ini, dia selesaikan persembahyangan bersama teman se kelas, sebagai ungkapan rasa syukur keberhasilan program Aplikasi Manajemen, di Pura Agung Niti Bhuwana, dengan kenakan busana adat, bergegas berganti seragam teori untuk memulai bimbingan skripsi lagi, namun tanpa berganti sandal menjadi sepatu dan kaus kaki. jadilah, Fumi ber seragam teori dan bersandal, memasuki ruang Administrasi Perhotelan, menenteng ransel. Hweleh....

Hmm...
Fumi bukan anak yang sangat cerdas (maaf, kusampaikan apa adanya...), malah, cenderung nge rosok / krosokan gen... Sama seperti remaja pada umumnya, banyak maunya, gaul dan narsis,gejolak emosi dan ego yang tinggi, berkumpul bersama sahabat dan miliki kekasihnya, miliki hobi : utak atik motor. Tapi semangatnya, spirit yang harusnya ditiru oleh tiap orang di manapun. Dia memiliki mimpi, cita dan harapan. Angan untuk keliling dunia dan menangkan kontes motor. Dan dia tahu jalan / proses untuk wujudkan hal tersebut, dia berjuang keras untuk itu, hingga dia layak dapatkan apa yg jadi tujuannya karena usaha tiada henti, walau disela mood yang kadang mengganggu suasana hati untuk bekerja.

Maka, seorang Fumi dapat menjadi provokator, motivator, pemicu bagi rekan-rekan lain di kelasnya, untuk melecut diri sendiri untuk segera tamat. jangan menyerah, jangan mudah menyerah, pada berbagai halangan dan tantangan yang ada. majulah, buktikan diri bahwa kalian bisa, dan... pasti bisa...

Selasa, 11 Mei 2010

Belajar Rendah Diri, Walau Postur Termasuk Tinggi....

Suamiku sedang menempuh pendidikan di Universitas Udayana Program Doktoral (S3)Pasca Sarjana, Program Studi Kajian Budaya. Aku baru dinyatakan lulus dan diterima pada Universitas Udayana Program Doktoral (S3) Pasca Sarjana, Program Studi Kajian Budaya pula. Putra sulungku, baru dinyatakan lulus SMP, sekaligus diterima di SMA ter favorit se Propinsi Denpasar, SMAN I. Putra bungsuku masih duduk di kelas 2 SDN 3.

Hmmm...
Sombong?
Tidak....

Perjuangan masih sangat panjang. Ini hanya awal dari kerja keras, dan selalu akan dibutuhkan kerja keras lainnya lagi.....
Masih jauh lebih banyak lagi yang tidak dapat kesempatan yang sama seperti kami. Maka harus banyak bersyukur atas segala karunia dan kesempatan yang Tuhan berikan bagi keluarga ku. Bukanlah keluarga kaya, bukan pula terpandang. Motorku masih tahun dodol. Rumahku masih terancam banjir. Malah lebih ingin menjadi bukan apa-apa dan siapa-siapa. Namun berusaha untuk menjadi semakin bijak dan dewasa dari hari ke hari....

Tuhan, bantu kami, bimbing kami....
Untuk selalu rendah diri, mampu menghargai orang lain, rela dan ikhlas menolong sesama, disiplin dalam tiap sisi kehidupan di dunia, sopan dan menjaga etika pergaulan dalam terapkan Sraddha dan Yadnya kami, dan tidak pernah berpaling dari Mu, menegakkan ajaran Dharma selalu......

Selamat Hari Galungan dan Kuningan.

Pak Made Mariana, orang Bali yang sedang mengais rejeki kehidupan di Abu Dhabi, mengatakan bahwa Hari Raya Galungan menggambarkan usaha perjuangan dalam meraih kebenaran. Kebenaran selalu menghadirkan kekuatan, tidak heran bila orang mengatakan, jangan takut melangkah bila kamu berada di jalan yang benar, atau sering juga kita dengar orang mengatakan “Berani karena benar”. Kebenaran menghadirkan kekuatan yang membuat kita mampu melakukan sesuatu yang selama ini tidak pernah kita bayangkan. Oleh karena itu, kebenaran itu memang patut dimenangkan.

Ini mengingatkan saya pada diri sendiri, pada orang lain, pada banyak bagian kehidupan selama ini, baik di masa lalu, kini, dan yang akan datang....

Terkadang, terpuruk dan berjaya, baik dan buruk, benar dan salah, kaya dan miskin, gelar dan jabatan, hanyalah setipis kertas dimata kita dan persepsi orang lainnya, juga dalam mata norma agama, politik, sosial, pendidikan, pekerjaan, dan banyak lagi yang lainnya.

Namun kebenaran hakiki tidak dapat dipungkiri. Kita bisa saja menyangkal dan bersifat munafik, mengabaikan hati nurani. Tapi hidup dalam kepura-puraan tidaklah kekal. Hanya kebenaran yang dapat menjadikan kita tumbuh kuat, tetap tegar dalam hadapi tiap cobaan dan tantangan, tiap detik masalah yang mengusik.

Mungkin saja, kita bisa menipu istri atau suami, mengajukan sejuta alasan kebohongan pada rekan kerja dan tetangga, sahabat dan anggota keluarga. Namun kita tidak pernah dapat memungkiri hati nurani kita sendiri, jiwa kita, cinta sejati yang berkembang, dan semangat yang ada dalam diri kita.

Kebenaran menjadikan saya tumbuh semakin kuat, walau masih amat sangat jauh sekali dari sempurna, menegakkan kepala menatap berbagai peristiwa dan orang lain yang saya temui dari hari ke hari. Mungkin saya memiliki sangat banyak kekurangan dan kesalahan, tapi kebenaran untuk tidak malu mengakui ini, mau belajar, berusaha walau belum juga maksimal, dapat membuat saya semakin shanti (apalagi memang sudah santi, namanya.....)

Gak janji, saya gak bakal melakukan kesalahan dan memiliki kekurangan lagi. Namun berusaha menjadi lebih baik, semakin benar, dari hari ke hari..... atas nama Sang Hyang Dharma, dalam jalan Beliau yang saya pahami dan saya aplikasikan se mampu saya....

Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan.....

Senin, 10 Mei 2010

Belajar Sabar Yang Lain Lagi....

Sudah bertahun tradisi ini kujalani. Membuat Penjor yang kubikin sendiri sampian penjornya. Mungkin aku mampu membeli yang banyak tersedia di berbagai lokasi di kota Denpasar ini, seharga sepuluh ribu hingga ratusan ribu. Namun selalu ada kepuasan tersendiri. Rasa bangga, terharu, juga uji sabar dalam hadapi gejolak emosi, karena berhasil menghaturkan sampian penjor bikinanku untuk memuliakan kebesaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam rangka hari raya Galungan dan Kuningan.

Sore ini, kuambil janur se ikat, juga bagian muncuknya yang kubeli kemarin. Mengajak ke dua anakku terlibat dalam aktivitas ini. Mempersiapkan Penjor. Mengenalkan mereka dalam banyak ajaran kehidupan sungguh membutuhkan seni tersendiri. Ku yakin, tiap keluarga punya kebijaksanaan sendiri, kebajikan yang bervariasi, cara dan fungsi yang beragam pula. Banyak busung terbuang karena dipakai mainan, salah dalam merajutnya jadi satu dengan gunakan semat dari lidi, menggabungnya dengan hiasan dari busung yang sudah diwarnai hijau dan merah. Dan, mereka bahkan dengan suksesnya meninggalkan ku sendirian melanjutkan jejaitan ini, dengan "Ma... boleh main dengan teman di luar, ya?"... Ehm....

Dengan selesainya Sampian Penjor ku ini, Galungan ku jelang... Sebuah proses tiada henti untuk meraih kemenangan atas setiap ujian, cobaan, godaan, tentangan, rintangan, bagi ajaran-ajaran Dharma yang menjadi pedoman dan tuntunan ciptakan damai di bumi dan di hati tiap umat manusia.

Banyak tinjauan para pakar mengenai Penjor. IG Manik, S.Ag, ( dalam www.parisada.org/index.php?option=com_content...id...) katakan, sejak dahulu umat Hindu memanifestasikan perjalanan, proses, usaha untuk mencapai Tuhan dalam bentuk Penjor. Ada lagi yg lain katakan bahwa tujuan pemasangan penjor adalah swadharma umat Hindu dalam mewujudkan bhakti dan terima kasih ke hadapan Hyang Widhi Wasa dalam prabawa Beliau sebagai Hyang Giripati (http://emperordeva.wordpress.com/unhi-community/gambaran-umum-dan-tafsiran-tentang-penjor).

(www.indo.com/featured_article/hindu_penjor.html ) jelaskan, the penjor is a tall, curved bamboo pole decorated with coconut leaves with an offering at the base. This is one of the media used by Hindus in Bali as part of almost every important ceremony, especially for the anniversary temple celebrations. The Sri Jaya Kasunu manuscript states that the penjor symbolizes the mountain and the mountain itself is the symbol of the universe. Therefore, for the Balinese the penjor is synonymous with Mount Agung, the highest and holiest mountain in Bali.

Di Wall FB nya, Bagus Made Sukmantara menjelaskan, Jaman dahulu penjor di pasang kalau ada upacara keagamaan. Macam-macam jenis penjor,antara lain penjor caru,penjor biyukukung,penjor galungan. Penjor Galungan paling banyak dipergunakan terutama karena mempunyai dekorasi yang indah dan beragam. Penjor galungan dihias demikian rupa yang menyerupai Naga. Sanggah yang di tempatkan pada penjor, pelepah kelapa digambarkan sebagai lehernya, rongga pada sanggah merupakan kepalanya naga, gembrong yang terbuat dari janur/ambu merupakan rambutnya. Sampian dengan porosannya adalah ekor naga. Dan hiasan penjor yang terdiri dari gantungan-gantungan padi,ketela,jagung,kain dan sebagainya,adalah gambaran bulu naga (lambang kesuburan)

Minggu, 09 Mei 2010

Gimana Rasanya Bercinta....

Berkali kutemui komentar di FB dari orang lain... "Gimana sih rasanya punya ayah? Aku merasa begitu sepi. Tak ada satupun yg cintaiku, membutuhkanku. Aku merasa sendiri....", "Ibu, kedua ortuku tiap hari saling teriak, berantem, sampe pukul-pukulan, tidak hanya cacian dan ancaman yang keluar dari mulut jorok mereka...", "Aku tidak punya orang tua, sehingga semua terpaksa kuurus sendiri"....

Ah... Sesungguhnya, ada banyak sahabat sejati di sekeliling kita. Ada "ibu dan bapak" sejati tersedia bagi kalian, ada keluarga dan rekan seperjuangan. Jadi, mengapa takut harus hadapi segala ini sendirian? Mengapa harus merasa sendiri, begitu tidak berharganya, terpuruk, dan asyik dengan segala keluh kesah dalam jalani kehidupan ini?

Simbok pulkam, pukul delapan pagi sudah harus mejeng depan kelasku, namun urusan RT menuntut perhatian. Tetap kucintai tugas rutinku ini, dari cuci2 dan masak-masak. Rayakan hari ibu? ah.. lebih baik lewatkan bersama mereka yang masih harus selesaikan perkuliahan, cek data utang piutang susu kedelai, bimbingan akademis yang tersisa, dikejar-kejar si Fumi yg ngotot minta selesai hari ini, persembahyangan bersama dalam rangka APM di Pura Niti Bhuwana. Apa susahnya berbagi cinta dengan banyak orang lain....

Kucintai keluargaku, rumahku, walau tipe 21, pondok. Kucintai pekerjaanku, kucintai lingkunganku, perjalananku, kesibukanku. Walau mungkin bukan sempurna, tapi berusaha ciptakan damai di hati ini sendiri terlebih dahulu, walau tanpa orangtuaku, walau harus kutinggal anakku sejenak tanpa sahabat dirumah krn harus bekerja dan berbelanja dalam rangka rerahinan,

Jadi, jika ada tanya...
gimana rasanya dapatkan cinta bersama orangtua yang disayangi, miliki pacar, selalu didampingi istri atau suami, berkumpul bersama keluarga atau sahabat yang mengasihi kita.... mengapa harus takut dan cemaskan ini semua? Tuhan mencintai umatNya, kita miliki cinta Beliau, Cinta akan selalu hadir di hati, dari banyak sisi. Kita bisa dapatkan cinta itu, dan berbagi cinta dengan siapa saja... Dari hewan peliharaan, dari tetangga, dari sahabat, dari rekan satu kantor, dari anak dan orang yg lebih tua. Mari menebar cinta damai di mana saja....

(Ehm.... cukup sudah kerja dan curhat hari ini, pulang dan mulai jait sampian gantung dulu ahhhh.....)

Kamis, 06 Mei 2010

That's What Friends, Trully Frienships Are For....

Pagi hari, selesai urusan keluarga, rutinits dalam keseharian. Bergerak menuju ke Nusa Dua. Ku harus bekerja, selesaikan tugas yang menanti. Sahabat2 spiritualku mengajak nangkil ke Pura Tamba Waras di Tabanan, sekalian ke Pura BatuKaru. Ehm, sebuah tantangan dan kesempatan menarik untuk berkumpul bersama mereka yang tidak bisa tiap bulan kutemui. Ada yang dari Jakarta, Bekasi, Negara. Tapi, kupilih tugas negara. Masuk ke ruang akademik di Gedung Rektorat, temui dua bimbingan skripsi di Ruang ADH, masuk ke MTH A dan B smt 2 di Rebab Building, dan menuju kantin, menyambar dua donat kaku.

Pukul 11.00, pamit dari lembaga ini bersama ibu Oka. Mana tega kutinggal dia di jalan. Rumahnya di dekat terminal Batubulan. Dengan mengenakan jilbab dari gubahan selendang, kami melaju di atas motorku. Inilah makna sahabat yg sesungguhnya. Tanpa banyak tanya dan segala ribet, slalu ada pada saat dan tempat yg tepat. "Harus selesaikan persembahyangan di mrajan" Sahut bu Oka. Selesai kuturunkan dia di depan pintu gerbang rumahnya, kuarahkan laju motor menuju rumah Mertua di jalan Antasura, meletakkan makanan yang kubawa di atas meja makan, dan bercengkerama bersama para ponakan sejenak, lalu berpamitan.

Kini coba temukan alamat Dian. Hmm, anak satu ini sudah ikuti ujian sidang skripsinya bulan lalu, tapi dia alami kecelakaan, nyungsep ke tumpukan pasir di jalan. Alamat rumahnya di dekat pantai Berawa yg sering kukunjungi bersama anak2. Kami pernah adakan perjalanan spiritual berkali dengan naik motor, bersama Uchy, Sri, Marlon bersama ortunya, ke Pura Andakasa, Pura Silayukti, dan Pura Tanah Lot. Setelah mondar-mandir dan berkali bertanya, kutemukan juga. Dan... ampun, itu kaki, borok dengan luka berair, bengkak memerah. Parraaahhh. Dan, dia belum memulai dengan revisi skripsinya. Padahal, batas akhir pendaftaran wisuda sudah di depan mata. Berjalan pun dia harus dipapah.

Ah, sungguh...
hadirnya keluarga dan sahabat bagai obat mujarab, walaupun bukan dalam hadir secara nyata, tapi semangat kekeluargaan dan persahabatan, sebuah nilai tiada terperi yang tidak bisa kita beli, disaat sendiri, terpuruk, alami musibah, guncangan emosi. Lalu... apakah hilangnya sahabat berarti hilang pula nilai persahabatan itu? Ah, sahabat bisa berlalu, berpindah atau meninggal, namun semangat persahabatan haruslah dijaga untuk selalu tumbuh di hati.

Selasa, 04 Mei 2010

Kita adalah pejuang di jalan masing-masing...

Konflik batin dala diri terkadang bagai kisah awal Bharatayuda, pergolakan di Kurukshetra. Saat Arjuna berdiri di tengah-tengah medan perang Kurukshetra di antara pasukan Korawa dan Pandawa. Arjuna bimbang dan ragu-ragu tentukan arah langkah ke depan. Perang yg kita hadapi kini, perjuangan, konflik batin dalam medan laga... mereka semua saudara, teman-teman, dan guru-guru dalam perjalanan hidup kita. Maka, kita bagai Arjuna yg memperoleh pengetahuan sejati mengenai rahasia kehidupan (spiritual) dari Hyang Widhi, yaitu Bhagawadgita.

Tetapi perbuatan di masa lalu, kini, dan esok hari, dapat mengikat diri kita sendiri pada seseorang di dunia ini atau membebaskan dirinya dari dunia. Membuat kemelekatan pada materi atau fisik semata. Sementara, Tuhan menawarkan kebebasan dari hukum karma (perbuatan dan reaksi) dan mencapai pengetahuan sejati tentang sang diri dan Yang Mahakuasa dengan cara bertindak untuk memuaskan Tuhan, tanpa mementingkan diri sendiri (BG III, ttg karma yoga)

Dalam kakawin Bharatayuddha Jawa Kuna, yang konon digubah dari aslinya dalam bentuk prosa, berisi uraian wejangan-wejangan Kresna kepada Arjuna. Bait-bait ini berasal dari pupuh 10, bait 12:

mulat mara sang Arjunâsemu kamânuṣan kasrepan
ri tingkah i musuhnira n paḍa kadang taya wwang waneh
hana wwang anaking yayah mwang ibu len uwânggeh
paman makâdi Krpa Salya Bhiṣma sira sang dwijânggeh
guru

Sang Arjuna melihat mereka dan diliputi rasa kasihan, sebab musuh-musuhnya bukanlah orang asing, ada sanak saudara dari pihak ayah maupun ibu, dan juga paman-paman

Mereka bukan org lain, walau lelah dan kesal mendera, walau sesal tiada lagi berguna... masih ada banyak yg lainnya yg butuh perhatian kita, tidak ada waktu untuk lelah dan berkeluh kesah... Diri ini terlalu berharga untuk terpuruk terlalu dalam.. Jangan menyerah, jangan mudah menyerah...

Sentuhan Indah Itu Bernama Cinta

Cinta atau asmara atau kasih tumbuh dan berkembang dalam hati. Banyak yang menafikan, berpura tidak ada, mengabaikan, atau hadirkan dalam berbagai bentuk, cara dan makna yang yang berbeda-beda. Kapankah cinta hadir dan bersemi dalam hati, terkadang lahir tanpa disadari.Bagai orang tua pada anaknya, pada sesama mahluk Tuhan, pada sahabat, pada saudara, bahkan pada benda dan cara dimana cinta itu tumbuh.

Cinta hadir pula dalam berbagai simbol cinta itu sendiri. Wikipedia.com jelaskan Aphrodite Sang Dewi Cinta dan Kecantikan dalam mitologi Yunani. Dalam legenda Romawi disebut sebagai Venus. Aphrodite sangat populer dikalangan para dewa. Zeus khawatir akan terjadi peperangan di antara para dewa (karena memperebutkan Aphrodite) sehingga menikahkannya dengan Hephaestus. Kemudian mereka memiliki seorang putra, Eros yang menjadi Dewa Asmara. Aphrodite juga dikisahkan berselingkuh dengan Ares, Dewa Perang hingga memiliki 2 putra yaitu Deimos dan Phobos, dan seorang putri yaitu Harmonia. Eros dan Anteros juga sering disebut-sebut sebagai putra dari Aphrodite dan Ares.

Sedangkan Hindu hadirkan banyak ceritera mengenai cinta. Salah satu dari sekian banyak, kisah mengenai Bethara Manmatha adalah perwujudan Dewa Asmara yang hadir di dalam segala sesuatu yang indah dan elok. Dalam dunia ini ia dikenal sebagai Kàmeswara / Kàma dalam bentuk jasmani / fisik (Kakawin Smaradhana 1.1-7) dalam P. J. Zoetmulder (1983:369)

Pupuh terakhir dalam Kakawin Smaradhana ini menceritakan tentang inkarnasi-inkarnasi Kàma dan Ratih. Ketika sedang bercengkrama Umà melihat sisa abu dewa dan dewi asmara; terharu dan penuh rasa terima kasih ia memperoleh janji dari Siwa, bahwa mereka akan dilahirkan kembali. Semula mereka menjadi Ñamuûþi dan Ratnavatì, dalam Udyànì-Màlava. Dalam inkarnasi berikut Kàma menjadi Udayana, raja Hastinàpura, sedangkan Ratih berkembar, menitis dalam kedua istrinya, yaitu Bàsavàdà dan Ratnàvalì. Akhirnya Kàma turun ke bumi sebagai raja pulau Jawa, yang sebetulnya merupakan kitab Kumarà di Kaúmir yang oleh Dewa Úiva telah dijadikan suatu pulau yang indah permai. Ratih dilahirkan kembali di Jaògala; di sana ia dikenal sebagai Kiraóà ratu. Dengan demikian karena anugrah Dewa Úiva, Úrì Baginda Kàmeúvara ini menjadi raja di Dahana dengan dewi Kiraóa sebagai permaisurinya (38.1-39.7).

Kakawin mengamanatkan bahwa untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Esa, seseorang harus menyucikan dirinya dengan mengendalikan sifat buruk dalam diri, segala hawa nafsu dan emosi yang negatif. Kepribadian dan ketrampilan adalah perlu, namun jauh lebih penting adalah pengendalian dari tiap aspek dalam diri dan penempatan sebaik mungkin dengan lingkungan dimana pun kita berada.

Maka, sejauh mana cinta hadir dalam diri kita?
Sudahkah kita mampu menerima cinta itu apa adanya?
Mengusahakan yang sebaiknya, bagi diri kita, dan juga orang lain
untuk dapatkan dan miliki cinta itu? tanpa saling menyakiti, tanpa ada yang terluka,
hidup abadi selamanya, di tiap masa
menjadi cinta abadi sepanjang masa......

Senin, 03 Mei 2010

Sinchan si Anak Bawang

Yugek Lestari Hardrocker bertanya "kok bisa sih, WS dipanggil Sinchan, bu?" Hmm. Namanya Wayan Sandi. Dia kukenal dari seorang teman lain dalam ruang diskusi di chat box dimana kami sering diskusi masalah spiritual. Lahir dan besar di Jakarta. Banyak tanya yang diajukan pemuda ini saat ber diskusi di ruang maya karena ketertarikannya memahami berbagai aspek kehidupan. Hobi baca buku komik, banyak sahabat yg anggap dia bagai Sinchan, bergerak tiada henti, cerewet, usil. Maka, sudah kujawab tanya mu, ya Gek?

Dia tamatan Binus University, Sistem Komputer. Pemuda yang miliki banyak ide kreatif. Namun terkadang, hidup perlu dihadapi dengan lebih dari sekedar ide kreatif, bukan? Usaha keras, faktor keberuntungan, me maintain diri sendiri secara terus menerus, motivasi tiada kenal lelah, jejaring kerja yang luas, dan se abreg lainnya. Dia memanggilku dengan sebutan "Nini", nenek, yg dituakan. Biarlah, tidak ada yang salah dengan panggilan ibu atau nenek bagiku dari siapa pun yg kukenal. Apalah arti nama, kata Shakespeare....

Sudah se minggu dia di Bali. Tirta Yatra bersama keluarga besar ke bbrp pura di Bali. Pagi ini dia muncul di tempat ku bekerja. Dari dulu sudah berkali minta dikenalkan dengan murid yang cantik dan ramah, padahal, sudah punya pacar. Haha... rahasia kubongkar. Setelah Tour de Campus singkat, berkunjung ke Hotel Praktek Siswa : Langoon Resort & Spa, bersembahyang di Pura Niti Bhuwana, kami putuskan berangkat temui Nyoman, "Sang Balian", istilah bagi teman diskusi yang satu ini. Namun sebelumnya, kami akan mampir ke Pura Goa Gong, ingin kuperkenalkan pada Sinchan Pura ini.

Tiba di Pura, ada serombongan tamu yang sudah tiba terlebih dahulu. Dari pelat mobil Toyota Land Cruiser, kukenali rombongan calon yang besok mengikuti Pilkada ini. Hmmm, mohon pencerahan di Pura yang terletak dekat Kampus UNUD di Bukit... Setelah temui rumah dan juga tempat kerja Pak Nyoman, Sinchan bersikeras untuk ikuti perjalanan spiritual lain lagi. Ia bahkan hubungi Pak Wayan, "Sang Panglima", yang juga sedang ada di Bali untuk memastikan tidak tertinggal perjalanan ini.

Ah, Sandi....
Spiritual tidak melulu dipahami dengan perjalanan kian kemari mencari tempat, orang, benda, situasi yang diharapkan bakal bisa berikan kedamaian / keteduhan dalam hati. Spiritual adalah konsep diri yang berkaitan dengan budaya dan agama yang pengaruhi perkataan dan perbuatan kita pula, bagai pepatah :

We are not human beings having a spiritual experience ....
We are spiritual beings having a human experience ....

The Three Musketeers, Persahabatan yg Bagai Kepompong

"Daivam manusha rupena”. Tuhan hadir di muka bumi dalam bentuk manusia. (http://nyamakotabaru.multiply.com/reviews/item/11). Maka, satu musuh terlalu banyak, seribu sahabat masihlah kurang.

Banyak sahabatku yg terkadang malah belum pernah berjumpa. Kami bisa berceritera seru tentang banyak hal, dari pelajaran, pekerjaan, keluarga, sahabat, perjalanan, dunia spiritual, rencana ke masa depan, atau pengalaman di masa lalu. Ada beberapa di antaranya yang termasuk sering diskusi tentang berbagai hal, dari astral hingga kelas percepatan, dari kunci hingga perjalanan spiritual, dari alam sekala juga niskala, tempat bertanya dikala ragu menerpa, dan saling memotivasi. Mereka termasuk senior, banyak miliki wawasan pengalaman dan pengetahuan. Persahabatan yang terjalin, walau di awalnya tanpa berjumpa secara nyata, terus berkembang, sehingga dapat copy darat dan saling mengenal anggota keluarga masing-masing. Aktivitas yang sering dilakukan hanya diskusi seputran agama, spiritual dan sosial, dan beberapa kali adakan perjalanan spiritual bersama. Tidak berusaha mencampuri ranah pribadi masing-masing. Kusebut mereka dengan The Three Musketeers. Dengan semboyan nya "One for all, and all for one", saling peduli, walau hanya sebatas diskusi dan saling memotivasi.

Hemmm, kenapa Musketeers? dan bukannya Krishna, Bisma, Dronacharya, Kripacharya, para Pandawa? Ah... semua adalah sama, tokoh-tokoh mulia lainnya, semua menguraikan kisah yang abadi dan bertutur tentang esensi keberadaan manusia sepanjang masa dimanapun mereka berada, persaudaraan dan persahabatan. Manusia adalah mahluk sosial, tidak ada tokoh yang berdiri sendiri, semuanya saling kait mengait, saling berhubungan. Dihubungkan oleh hukum Dharma dan Karma yang mengikat setiap pribadi. Dharma dan Karma ini melingkupi setiap tokoh dan menghubungkannya dengan ruang (dimana saja) dan waktu(dahulu, kini, dan yang akan datang). Maka, ada Udin, Lolak, Lolet, dan yang lainnya ....

Persahabatan dan persaudaraan merupakan nilai yang universal dan abadi. Universal, karena nilai tersebut berlaku umum, ada dimana saja, dalam tatanan budaya apapun. Tidak berbatas antar pria dan wanita, tua dan muda. Abadi, karena ada dan akan tetap ada sampai kapan pun(eternal). Seseorang bisa meninggal, namun nilai-nilai yang dimilikinya akan dikenang abadi.