Jumat, 05 Agustus 2011

Dari Seminar tentang Hukum Adat


Dimana perempuan dimuliakan, disanalah para Dewa merasa senang. Dimana perempuan disia-siakan, tidak akan ada upacara suci apapun yang berpahala (Manawa Dharmasastra III:56).

Perempuan Bali banyak mendapat acungan jempol dalam sejarah perjalanan perjuangan kehidupannya. Hingga kini, tidak sedikit kupasan telah dilakukan mengenai hidup dan kehidupan Perempuan Bali. Seminar ini menjadi ajang diskusi para pemerhati Bali, khususnya Perempuan Bali, dalam konteks kekinian, yakni Peran dan Arti Perempuan Bali di Tengah Masyarakat.

Tanggungjawab anak yang secara penuh meneruskan berbagai kewajiban pewaris sungguh berbeda jauh dengan seorang anak perempuan yang telah menikah (ninggal kedaton) dan hidup dalam lingkungan keluarga suaminya. Seorang anak yang ninggal kedaton, menurut hukum adat Bali, tidak harus melaksanakan tanggungjawab pewaris. Karena itu, hak mewarisnya juga dianggap “tidak harus” alias gugur.

Walaupun seseorang yang ninggal kedaton tidak berhak atas harta warisan, tidak berarti tertutup peluang bagi keluarganya untuk memperhatikan anaknya. Jika mereka mampu dan mau, memberikan bekal kepada anaknya, dia dapat memberikan sejumlah kekayaannya, sepanjang hal itu tidak merugikan ahli waris lainnya. Pemberian ini disebut dg Jiwa Dana. Ini biasanya diberikan kepada anak (lelaki atau perempuan) yang ninggal kedaton karena melangsungkan perkawinan atau karena diangkat anak oleh keluarga lain. Ceritanya tentu akan menjadi lain bila yang bersangkutan ninggal kedaton karena pindah agama atau dipecat sebagai anak karena wangla (durhaka) Wayan P. Windia (Majalah Sarad No. 3, Maret 2000)

Banyak kegiatan yang sudah dilakukan untuk pemberdayaan perempuan, baik melalui pendekatan hukum, politik dan sosiologis. Ada 3 formulasi dalam bentuk konsep secara menyeluruh untuk mendukung upaya pemberdayaan perempuan ini, yaitu adanya kesempatan, pengakuan dan kesadaran di dalam memandang perempuan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Formulasi ini memiliki korelasi dengan implementasi hukum adat waris di Bali, sehingga akan tetap dapat dipertahankan jalinan dan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan masyarakat Bali.

Bergerak dari kepedulian tersebut, maka IKAYANA (Ikatan Keluarga Alumni Universitas Udayana) mengadakan seminar yang mengangkat topik Perempuan Bali dalam Perspektif Hukum Adat Waris, yang diharapkan dihadiri oleh para Pemerhati Masalah Hukum dan Adat Bali, Sulinggih, Organisasi Profesi, MUDP, PHDI, Pengurus Ikayana, Partai Politik, Dosen PTN & PTS, Pejabat Pemerintahan dari Propinsi, Kabupaten / Kota, DPRD, Aparat Penegak Hukum, LSM, Lembaga Adat, Desa Pekraman, Mass Media.

Seminar ini berlangsung pada Hari Jum’at, 5 Agustus 2011, bertempat di R. Theatre lantai IV Ged. FK UNUD, dengan pembicara :

Drs. Ketut Wiana, dengan topik Perempuan Bali Menurut Pandangan Hindu.

Dr. Dra. Made Wiasti, M.Si., dengan topik Perkembangan dan Aktualisasi Kesetaraan Gender di Bali.

Prof. Dr. I Wayan P. Windya, SH., M.Si., Ketua Bali Shanti, dengan topik Perempuan dalam Konsep Hukum Adat Waris Bali, Perspektif Masa Depan.

Ida Bagus Putu Madeg, SH., MH., Hakim Tinggi di Makasar, dengan topik Pewarisan bagi Perempuan Bali dalam Praktek Peradilan.

http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=13&id=53909

juga menjelaskan buah pemikiran Prof. Wayan P. Windya yang menguraikan tentang Hukum Adat Bali “Matindih” dalam pengangkatan anak. Pengangkatan anak menurut hukum adat Bali ini mengacu pada Peraturan (Paswara) tertanggal 13 Oktober 1900 tentang hukum waris yang berlaku bagi Penduduk Hindu Bali dari Kabupaten Buleleng yang dikeluarkan oleh Residen Bali dan Lombok, FA Liefrinck, dengan Permusyawarahan Bersama-sama Pedanda-Pedanda dan Punggawa-Punggawa.

Paswara ini pada awalnya hanya berlaku di Buleleng, namun sejak tahun 1915 juga diberlakukan untuk seluruh Bali Selatan. Misalnya saja, Pasal 11 ayat 1, menjelaskan, “Apabila orang-orang tergolong dalam kasta manapun, juga yang tidak mempunyai anak-anak lelaki, berkehendak mengangkat seorang anak (memeras sentana), maka mereka itu harus menjatuhkan pilihannya atas seorang dari anggota keluarga sedarah yang terdekat dalam keturunan lelaki sampai derajat ke delapan.

Dalam praktik kehidupan masyarakat adat di Bali (desa Pekraman), pengangkatan anak juga perlu mendapat persetujuan seluruh warga desa pekraman melalui rapat (paruman) desa, dan baru dikatakan sah menurut hukum adat Bali setelah mengadakan upacara paperasan.

Siapakan FA Liefrinck sesungguhnya? Dia adalah cendekiawan Belanda. Pada uraian 2 Agustus 2011 berisi

http://www.bulelengkab.go.id/mutiara-buleleng/1129-musium-perpustakaan-gedong-kirtya

F A Liefrinck dan Dr. Van Der Tuuk yang telah mempelopori penyelidikan Kebudayaan, Adat-istiadat dan Bahasa Bali oleh salah seorang wakil pemerintah Belanda ( Residen Bali dan Lombok ) dan juga seorang Cendikiawan Belanda yang bernama L J J Caron. Terselengaralah pertemuan di Kintamani yang melahirkan sebua Yayasan ( stiching ) tempat penyimpanan Lontar ( Pustaka Lontar ) atau manuscript ( MSS ) digalang oleh Dr. R Ng Purbacaraka, Dr. W R Stuterheim, Dr. R Goris, Dr. Th Pigeand, Dr. C Hooykaas dan sebagai petugas aktif adalah para Pinandita dan Raja-raja se Bali serta merta membantunya sebagai miniature Asiatic Seciety untuk daerah Bali dan Lombok dilengkapi dengan koleksi MSS dan benda-benda kesenian serta penerbitan-penerbitan berkala dari sarjana-sarjana yang mengadakan riset tentang seluk beluk mengenai Bali. Gedungnya didirikan di Singaraja karena pada waktu itu Singaraja sebagai ibu kota pulau Bali. Gedung peringatan ini mula-mula diberinama : Stichting Liefrinck Van der Tuuk.

Tetapi atas saran Raja Buleleng I Gusti Putu Jlantik ditambah dengan perkataan Sansekerta-Bali ”Kirtya” dengan demikian institut ini dikenal dengan nama ’’Kirtya Liefrinck Van der Tuuk’’yang didirikan pada tanggal 2 juni 1928 di Singaraja.

Betapa FA Liefrinck juga memiliki peranan penting dalam hubungan kepentingan Belanda dengan Raja-raja di Bali, diuraikan oleh :

http://www.balihub.com/blog/view_entry/407


Persiapan-persiapan politik secara mantap yang dibuktikan Gubernur Jenderal J.B Van Heutz dengan menyampaikan surat Residen J Eschbach kepada Dewan Hindia dengan permintaan agar Dewan memberi pendapatnya mengenai masalah konflik dengan raja Badung. Dalam rapat tanggal 31 Maret 1905 Dewan Hindia tidak dapat menyetujui pendapat Residen J Eschbach bahwa tidak bersedianya Raja Badung membayar ganti rugi dalam masalah Sri Kemala hanya didasarkan atas sikap keras kepala namun mungkin ada hal hal lain yang menjadi dasar penolakan tersebut.


Dewan Hindia membuktikan pendapatnya dengan suatu peristiwa yang belum lama terjadi yaitu pada tanggal 22 Desember 1904 yaitu Raja Badung masih bersedia menandatangani perjanjian penghapusan “mesatiye” (pengorbanan diri) dalam upacara ngaben sebagai tanda kesetian seorang istri kepada suaminya dalam kerajaannya, yang merupakan suatu kenyataan bahwa Raja Badung memang mempunyai suatu kemauan baik untuk bekerjasama dengan Pemerintah Hindia-Belanda.


Berdasarkan atas pertimbangan tersebut maka Dewan Hindia menyarakan kepada Gubernur Jenderal J.B Van Heutz hal sebagai berikut :


1. Sebaiknya diusahakan lagi pendekatan dengan Raja Badung untuk mencapai suatu penyelesaian damai mengenai masalah Sri Kemala.

2. Pemerintah menujuk seorang pejabat tinggi yang berpengalaman untuk dikirim ke Bali, guna mengadakan perundingan dengan Residen dan Raja Badung mengenai masalah tersebut dan kemudian memberikan laporan selengkapnya kepada Pemerintah.


Berdasarkan pendapat Dewan Hindia tersebut, maka pada tanggal 7 April 1905 Gubernur Jenderal J.B Van Heutz menunjuk Anggota Dewan Hindia F.A Liefrinck sebagai komisaris pemerintah untuk dikirim ke Badung. Pengangkatan F.A Liefrinck adalah tepat karena Anggota Dewan Hindia itu dianggap sebagai orang yang mengenal adat istiadat serta keadaan politik di Bali berhubung dia pernah lama bertugas di Pulau Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar