Minggu, 27 Oktober 2019

Maladjustment, Pameran Seni, UWRF2019, Kubisme dan Dekonstruksi



Stigma keindahan memiliki ambang batas absurd yang berbeda dalam diri masing-masing kita. Tampilan indah dan cantik merupakan suatu meta narasi tiada henti yang selalu mengalir untuk dikupas berkali-kali. Hal ini yang ingin ditampilkan oleh Ubud Writers and Readers Festival. Dan, salah satu event yang digelar terkait Ubud Writers and Readers Festival adalah Pameran Seni Rupa di Museum Neka, berlangsung dari tanggal 26 Oktober hingga 25 November 2019.

Setelah enam belas kali menggelar event ini, ajang bergengsi ini mampu tampil menarik sesuai rangkaian pengalaman dalam menangani dan melibatkan berbagai pihak, dari berbagai penjuru dunia. Terbukti dari 180 an lebih para pakar penulis yang berafiliasi, dengan 30 an Negara yang terlibat dalam penyelenggaraannya, panitia Ubud Writers and Readers Festival mampu mengemas beragam kegiatan yang memancing gairah semangat eksotik dari berbagai pihak yang terlibat. 


Maladjustment yang berlangsung di Museum Neka dan dibuka pada hari Sabtu, 26 Oktober, memperlihatkan keindahan absurd perupa perempuan yang terlibat di dalamnya. Inilah pembongkaran makna yang telah berlaku di tengah masyarakat selama ini. Betapa, pembalut perempuan yang dipergunakan saat menstruasi justru ditampilkan sebagai latar dari karya Arahmaiani. Terdapat lebih dari enam ratus pembalut di sekeliling karyanya, menjadi latar buah seni, dengan dihiasi lampu sorot yang membuat seolah karya tersebut berada di tengah hamparan busa indah nan empuk.


“Saya ingin menampilkan keindahan karya bagi saya. Hal yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan, dibahas terbuka, justru bisa tampil vulgar. Ratusan pembalut hadir disini, dihiasi cahaya yang membuatnya tampil menarik dan eksotik”, ujar Arahmaiani saat diwawancarai, 26 Oktober 2019.



IGAK Murniasih menampilkan lukisan bagian belakang tubuh, dengan pola tubuh perempuan yang seolah membelakangi penikmat karyanya, menungging, sehingga bagian pantat tergambar dalam pola tersebut. ”Murniasih sudah berada di langit biru, namun mendapat tempat tersendiri bagi para penikmat karyanya. Inilah gambaran kepolosan, cermin keluguan dari kita semua, yang menolak wajah berpura-pura”. Ujar JMK Pande Wayan Suteja Neka saat diminta pendapatnya.

Kita terkadang berpura-pura, berlaku munafik, mengabaikan penyimpangan yang terjadi di sekeliling kita, bahkan pada diri kita sebagai pelakunya. Bahasa simbolik ini yang dibongkar ulang, di dekonstruksi oleh para perupa perempuan ini, bahwa bagian intim tubuh kita yang terlarang untuk dibahas secara terbuka, sesungguhnya bisa tampil apa adanya, menyeruak keluar, meski tidak diakui, terlarang dan tabu untuk dibahas secara terbuka, namun ada, tumbuh berkembang di tengah masyarakat. 

“Beranikah anda membahasnya? Menyuarakannya ? menyatakan secara terbuka, tanpa berlaku munafik dan menutup mata terhadap hal ini ? meski terkadang menyakitkan, memalukan, namun persepsi ini, perasaan ini, ada, tumbuh, mengalir, meski dalam diam, bukan? Ini esensi dari aliran kubisme“. Ujar I Gusti Agung Ngurah Kresna Kepakisan menyampaikan kupasan nya terkait pameran yang berlangsung tersebut. 



Inilah aliran Kubisme sebagai suatu gerakan seni avant – garde abad ke 20 yang dirintis Pablo Picasso dan Georges Braque. Dan aliran Kubisme ini merupakan suatu gerakan seni yang membuat revolusi di dalam karya seni, sebagai upaya menciptakan bentuk-bentuk abstrak dari berbagai benda tiga dimensi ke media lukis dua dimensi. Aliran ini telah membongkar habis suatu pakem yang berlaku selama ini, bahwa seni lukis hanya wadah karya dua dimensi belaka. Aliran ini juga telah membuat shock dunia luas, karena dengan telak telah menampar wajah kita semua, membongkar beragam hal tabu dan tidak mungkin dinikmati dalam karya seni sesuai kriteria yang berlaku selama ini.

Ada yang menarik ketika menatap karya Mary Lou Pavlovic. Sosok perempuan pada karyanya, berbalut kain berwarna merah, biru dan putih, dan terdapat tulisan liar !, Pembohong !. warna merah, biru dan putih ini mengingatkan kita pada bendera Belanda, yang serupa dengan bendera Rusia, juga Perancis.  Ada apa di sebalik simbol warna tersebut ?, siapa yang dicapnya sebagai pembohong ?, apa pergulatan yang ingin ditampilkan oleh Mary Lou ini ? Siapa sasaran buah karya nya ? Begitu banyak tanda tanya, begitu banyak persepsi yang bergantung di dada. Terkadang kita gampang menghakimi orang lain dengan berbagai stigma, tuduhan, yang berdasar dari persepsi dan rasa, tanpa menyelami makna di dalamnya.

Ketiga perupa ini telah menyajikan karya yang membuat pencinta seni harus mengernyitkan alis dengan dalam, membongkar makna keindahan yang berlaku tentang tubuh wanita, mendekonstruksi karya seni berdasar persepsi yang diharapkan tercipta, dan kemudian menghancurkan batas tabu serta ruang semu dalam bahasan di ruang publik. Ini lah aliran yang tampil apa adanya, menyeruak daya nikmat dalam diri, bahwa langit tak selalu biru, bahwa bokong tak selalu harus tertutupi dan ditempatkan di bawah, mempermainkan dan memporakporandakan batas norma yang berlaku sepanjang waktu…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar