Jumat, 18 Juni 2010

Pontianak, Pawiwahan, Kenangan. Di Batas Rinduku Berlabuh....


Setelah beres urusan keluarga di pagi hari seperti rutinitas sehari-hari, ijin dari kantor karena harus ke Plasa Telkom selesaikan kasus Speedy Internet yg termelet-melet dan bikin bete se keluarga ber minggu2, aku meluncur ke Blahbatuh. Hmmm, kali ini dalam rangka penuhi titah si emak. Emak tinggal di Pontianak. Adikku terkasih, Dewa Komang Diwya Artha, mengirim pesan singkat atas nama emak. "Teman bapak dahulu, Ir. Nyoman Sudana & Pak Wayan Korem, menikahkan anak mereka. Di Banjar Teruna, Blahbatuh Gianyar. Kalau sempat, kesana, ya".

Tiba disana, kutemui Ibu dan Pak Nyoman Sudana. Baru teringat setelah menggali kenangan, beliau ini yang dikenal dengan nama, Pak Nyoman PLN, sewaktu masih berdiam di Pontianak. Maklum, selama dirantau, untuk lebih memudahkan, membedakan satu dengan lainnya, dalam hal berkomunikasi diberilah gelar berdasar pada tempat dimana mereka berdiam atau bekerja. Berlanjut ceritera bahwa Ibu Nyoman pernah operasi jantung, sering kollaps berkali dalam sehari. Dan, para anaknya yang juga teman bermainku waktu SD dahulu. Kini, salah satu dari anaknya menikah. Nyoman Manik dan Ketut Ratna Leoni.

Lalu, kulihat ada Pak Dewa Made Sumerta yang merupakan guru tariku dahulu, yang dikenal dengan Pak Dewa Topeng. Baru beberapa tahun terakhir beliau beserta istri yang seorang wanita Dayak berdiam kembali di kampung halaman, Banjar Gede, Batuan. Kami sejak kecil sudah diajar mengerti dan mengaplikasikan seni, termasuk seni tari dan gending Bali, walau sering ditolak ikut bareng jika akan pentas. Hmm, maklum, harus sadar diri jika suaraku fals banget. Hiks.

Ada pula Pak Putu BPN, yaitu Pak Putu Palgunadi yang ber dinas di BPN Pontianak, beserta istrinya seorang guru di SMP X Gatsu. Ada lagi Pak Wayan Brimob, yaitu Pak Wayan Sukadana, yang kini bertugas di Polda Bali, hadir pula beserta istri. Jumpa pula dengan Pak Agung PLN, yang kini sudah pensiun dari PLN Pontianak, juga hadir sekeluarga.

Aaahhh, ini sungguh sebuah reunian dari orang Bali yang pernah bertugas di rantau, yaitu di Kalimantan Barat. Sungguh membangkitkan kenangan di masa kecilku. Masa dimana kulewatkan sebagian dari kehidupan di kota Equator, SD hingga SMP di Santo Josep. Bolak balik ke Mempawah, kota dimana kakek dan nenek tinggal. Menyusuri jalan-jalan sepanjang ParitBaru, SungaiRaya, Supadio, Rasau Jaya, Mempawah, Pemangkat, Sambas, Ketapang, Sanggau, Tayan, Sintang, Ngabang. Naik Vespa, atau motor RX King. Ber ratus kilometer keluar kota bersama kedua orangtua, kakak dan adik2ku. Hmm, jiwa petualangku kudapatkan dari mereka....

Kembali, ke Pawiwahan.....

http://ilushi.blogspot.com/2008_11_01_archive.html Jelaskan bahwa dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).

Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:

“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”,

Artinya: “Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).

Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:

“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”,

Artinya: “Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.

“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”,

Artinya: “Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).

Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60, sebagai berikut:

“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”,

Artinya: “Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).

Ah, semoga mereka bisa jalin hubungan ini kekal abadi selamanya, hingga hidup terpisah kematian, walau rintangan menjelang di depan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar