Selasa, 04 Desember 2018

Tabe Pekulun, Ida




“Di Ubud tidak ada kerajaan. Tidak ada raja. Jika kita salah menulis, kawitan bisa marah. Masyarakat mendapat pencerahan yang salah. Menulis harus sesuai dengan fakta dan prasasti- prasasti  raja-raja Bali”. Seseorang berpendapat dan melontarkan kritik terhadap tulisanku. Wow. Sungguh, sesuatu bahan masukan yang mencerahkan. Mengapa harus resah dan gundah jika karya kita mendapat saran dan masukan, jika seseorang berdiskusi terkait karya tulis dan diri kita.

Buku yang ditulis oleh Jean Couteau berjudul Gung Rai: Kisah Sebuah Museum ( ) menjelaskan bahwa pada tahun 1685, mulai berkembang sebuah puri megah di tempat yang sebelumnya dinamai Desa Timbul, dan berganti nama menjadi Sukawati, dengan penguasa Ida I Dewa Agung Anom Wirya, alias Sri Wirya Sirikan. Berikutnya yang terjadi adalah berbondong-bondong seniman dari Klungkung berdatangan ke Sukawati, dan menjadi warisan budaya luhur yang tiada tergantikan hingga kini.


Banyak rujukan yang menguraikan tentang kehadiran keturunan salah satu Dalem di daerah Peliatan. Percaturan politik, kekuasaan, pemerintahan yang mewarnai masyarakat Bali tatkala itu, terjadi semenjak Patih Gusti Agung Maruti mengambil alih kekuasaan Gelgel pada tahun 1665. Pertikaian dan perpecahan para satria Dalem yang mampu diredam tahun 1686 ini, menjadi penyebab runtuhnya kerajaan Klungkung / Gelgel di masa Raja Agung Dalem Dimade, sebelum kemudian mereka kembali bersatu dan mengalahkan kekuasaan Agung Maruti.

Kemenangan tersebut membuat raja Klungkung memberikan kesempatan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil lain secara otonom, seperti Badung, Gianyar, Tabanan, Mengwi, Buleleng, Jembrana, Bangli, Karangasem, dan lain-lainnya. Kerajaan Klungkung kemudian lebih cenderung memfokuskan pada permasalahan adat.


Data lain menyatakan bahwa Kerajaan Sukawati yang berlokasi di Gianyar Bali mulai berdiri semenjak Tahun Saka 1633, atau sekitar 1711 Masehi, di bawah pimpinan I Dewa Agung Anom Sirikan (Babad Dalem versi 8).

Memasuki awal abad 19, terjadi pergolakan antara raja-raja di Bali dengan pihak Belanda. Terjadi peristiwa Puputan Badung 1906, Puputan Klungkung 1908, Peperangan Buleleng, Karangasem. Tekanan dunia internasional kemudian membuat pihak Belanda melakukan politik Baliseering, suatu teknik dan kebijakan politik yang berupaya mengembalikan kemurnian Bali, dengan alam, adat istiadat, kondisi kemasyarakatan kembali seperti semula. Hal ini merupakan wujud tanggungjawab pihak Belanda pada lokasi dimana mereka berada dan tuntutan dunia.

“Jangan pernah takut untuk berbicara, menulis, terus berkarya, berbuat baik pada semesta. Tetaplah bersemangat menghasilkan tulisan.  Sejarah adalah dialog tanpa akhir. Dan, sejarah perlu direvisi, akan senantiasa diperdebatkan, diskusi yang terus bergulir, dengan beragam bukti yang mendukungnya”. Ujar Dr. Wayan Tagel Eddy, MS., di kala senja, sambil menyeruput secangkir kopi Bali.

Ah, kopi ku terasa manis meski tanpa gula sore ini……



Apapun bentuk perjuangan, seberapa banyak proses perjalanan yang harus kita lalui, hal ini menggambarkan konsep Rwa Bhinneda akan selalu ada di tengah masyarakat. Biarkan orang menilai, berikan kesempatan untuk berkreasi, mendukung, mengkritik, memberi saran, dan membuka proses perkembangan menjadi semakin baik lagi dalam berbagai bidang kehidupan, baik ideologi, politik, religi, seni, budaya, ekonomi, sosial……

Hal ini pula yang ingin dikumandangkan oleh Yayasan Ratna Wartha yang terletak di Desa Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Yayasan Ratna Wartha berdiri semenjak 1953 dengan tujuan memberikan apresiasi bagi para seniman dan mengembangkan budaya Bali. Januari 1954, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo meresmikan Museum Ratna Wartha terletak di jalan Raya Ubud, Gianyar, Bali, Indonesia, Ubud, Bali. Museum Ratna Wartha memiliki sejarah yang begitu penting mengenai perkembangan seni di Bali. Di dalam museum ini terdapat berbagai koleksi patung dan lukisan. Lukisan yang berada di dalam museum ini sebagian besar menggambarkan suasana dari kehidupan masyarakat Bali dan cerita kisah-kisah pewayangan. Museum yang terbagi atas 4 bangunan terpisah ini secara keseluruhannya digunakan untuk memajang serta menyimpan beragam koleksi lukisan-lukisan dan juga patung.

Sudah saatnya Puri menjadi lebih luwes, terbuka, dan garda terdepan dalam mengembangkan masyarakat di bidang Parhyangan, Palemahan, dan Pawongan. Bentuk perjuangan kita beda, bukan lagi di jaman kerajaan, bukan pula di jaman Belanda, Jepang, namun disesuaikan dengan jaman. Era kekinian menuntut kita mampu memahami dinamika yang menggelegak, membuncah, mengarahkan masyarakat untuk tidak hanya berdiam diri menjadi penonton. Masyarakat Bali yang dinamis, yang kreatif, yang modern, yang mandiri, adalah masyarakat Bali yang Madani. Dan, Puri berdiri bersama mereka, untuk tumbuh berkembang bersama.

Salam Rahayu…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar