Minggu, 02 Desember 2018

Interpreting Feelings by I Made Supena




Tidak mudah menikmati karya I Made Supena.

“A painting in a museum hears more ridiculous opinions than anything else in the world”. Edmond de Goncourt.

Selintas bayang menikmati karya seni se kaliber beliau, tak berhasil kurangkum rangkaian kata bermakna, bahkan, untuk mematahkan argumen tentang rasa yang sejenak hadir.

I Made Supena tidak bisa disamakan dengan Mark Rothko, Jackson Pollock, Willem de Kooning, Clyford Still, Bornet Newman, Robert Montherwell, atau bahkan yang lainnya. Dia bukan satu dari mereka, karena I Made Supena memiliki genre tersendiri.


Cosmo.com mengatakan terdapat tujuh aliran seni rupa yang berawal dari gerakan budaya yang maha luas berkembang di permukaan bumi. Baik impresionisme, surealis, ekspresionisme, abstraksionisme, pointilisme, dan kubisme. Yang lain bahkan mengatakan, setidaknya terdapatt 20 aliran seni lukis berbasis surealis, baik non figuratif dan abstrak kubistis, romantisme, ekspresionisme, impresionisme, pointilisme, fauvisme, realisme, naturalisme, abstraksionisme, futurisme, klasikisme, konstrukisme, dadaisme, populer art, optik, primitif, pittura metafisica, kontemporer / posmo / posmodern, dan gotik.


Perkembangan seni rupa modern di dunia yang terbagi menjadi kubisme, fauvisme, dadaisme, futurisme, surealis, kontemporer, popular art, abstrakisme, atau apapun, menunjukkan bahwa seni tidak akan pernah berhenti, selalu mengalir seiring kerkembangan yang terjadi dari seniman itu sendiri, juga di dalam llingkungan dimana dia bertumbuh dan berkembang. Hal ini yang terlihat dari karya awal I Made Supena, hingga karya nya yang termutakhir, “Number”, yang juga menjadi cover dari katalog pameran nya kali ini. Abstrak sekalipun, tetap menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu. Pematangan dalam permainan kuas, bentuk yang dihasilkan, hingga makna lukisan bagi pelukis, bisa bertutur tentang proses yang harus dijalani hingga sebuah karya dinyatakan tuntas.


Karya I Made Supena adalah karya yang berbicara tentang dirinya, sepenuhnya ide yang mengalir dari dalam diri, dengan segala kegelisahan, keegoisan, keartistikan, estetika, aritmatika, makna, yang mengalir tersirat dan tersurat di atas kanvasnya.

Aku lebih suka menyebut karyanya bergenre abstrak, yang terwujud dari fantasi, mimpi, emosi, rasa, ego, cita, cinta, juga pandangan terhadap lingkungan sekitar, dengan sesama, dan hubungan nya dengan Tuhan. “Ya, lukisan saya menggambarkan budaya masyarakat yang tidak bisa terlepas dari Tri Hita Karana. Bagaimana kita bisa bergaul dengan masyarakat sekitar, dengan alam semesta, dan dengan Beliau, Tuhan Yang Maha Kuasa”, ujar I Made Supena.

Menikmati karyanya, tidak cukup hanya berdiam diri sejenak, menatap hamparan pemandangan yang tersaji dalam jangkauan pandang. Menikmati karyanya membutuhkan pemahaman beruntun, tentang proses pembuatan, tentang guratan yang hadir, tentang pulasan warna, tentang makna yang menggugah rasa yang hadir setelah puas bercumbu dengan karyanya. Maka, penikmat seni akan memahami nilai yang terkandung dari hamparan pemandangan tersaji di atas kanvas tersebut.

“Karya saya berbicara tentang kegundahan terhadap lingkungan sosial, terhadap ketatanan yang terkadang kaku dan tidak berpihak pada banyak orang, sebagai cermin jiwa saya”, ujarnya saat kutanya, mengapa dalam karyanya kulihat terkadang tersirat inkonsistensi sistemik, yang tidak sampai di nalar orang-orang biasa sepertiku.

Bahkan, setelah rehat sejenak dengan secangkir kopi, kemudian lanjut menatap karya lukisnya, akan berjumpa rasa WOW. Inilah yang disampaikan Master Pemasaran, Hermawan Kartajaya, tentang produk yang mampu menyentuh rasa publik. Karya I Made Supena telah mampu menyentuh titik emosi, puncak ego, rasa yang paling dalam dari para penikmat seninya. Ia memiliki kalangannya tersendiri, yang berbeda dari penikmat seni pada umumnya.

Pengalaman matang berpuluh tahun sebagai seniman seni lukis telah membuat beliau teruji dalam berbagai kriteria pelukis sehingga layak disebut Sang Pelukis Pakar. Dengan beragam pola hingga proses akhir yang dilakukannya.

Terlahir di Singapadu Gianyar, beliau kental dengan nuansa seni sebagaimana masyarakat Gianyar lain. Lagipula didukung oleh kehidupan keluarga seniman, dengan sang ayah, Ketut Muja, yang pematung surealis nan kreatif. Pendidikan Seni yang ditempuh di FSRD UNUD, kini ISI Denpasar, semakin mematangkan pola pikir dan kreasi yang tercipta pada setiap karyanya. Puluhan kali pameran bersama semenjak tahun 1991, dan 12 kali pameran tunggal, baik di dalam maupun di luar negeri, telah memperlihatkan kualitas pengalaman I Made Supena.Ia bukan peniru, tidak gampang dipengaruhi oleh seniman lain. I Made Supena memiliki ciri khas tersendiri.

Karya nya bertutur indah tentang alam bali, pesona yang menggoda bagi banyak orang, tertuang dalam warna warni indah hasil kuas dari jari tangan I Made Supena. “Saya juga ingin menitipkan pesan tentang moral kita, tanggungjawab masyakarat pada lingkungan, kepedulian akan lingkungan, apalagi sampah, kasus politik, termasuk pesan akan pentinngnya pendidikan bagi anak, \suatu proses yang tiada henti. Angka yang ada di dalam lukisan tidak hanya sekedar angka. Lagipula, hidup kita takkan pernah terlewatkan dari peranan angka, bukan?”

Sungguh, perlu waktu untuk memandang, menikmati, mencumbui, dan memahami serta memakmai, kemudian mengupas karya-karya beliau. Angkat segelas kopi lagi, dan, WOW bagi I Made Supena, telah menggugah rasa para penikmat seninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar