Rabu, 28 November 2018

(3) Tirtayatra, 23 - 25 November 2018




Hong Ulun Basuki Langgeng.
Tabe salamat lingu nalatai salam sujud karendem malempang.
Hong wilaheng sekaring jagat bhawono langgeng. Rahayu…..



Suku Tengger atau juga dikenal dengan Wong Tengger, atau Wong Brama, adalah komunitas penduduk yang menempati dataran tinggi di sekitar kawasan pegunungan Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur. Penduduk Suku Tengger menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang. Suku Tengger, menurut Sensus BPS tahun 2010, merupakan sub suku Jawa.


Tengger memiliki makna berdiri tegak atau berdiam tanpa gerak, yang melambangkan watak orang Tengger yang berbudi pekerti luhur, yang harus tercermin dalam segala aspek kehidupan. Tengger juga memiliki arti pegunungan, yang sesuai dengan daerah kediaman Suku Tengger. Namun Tengger juga bisa berarti gabungan nama leluhur suku Tengger, yakni Rara Anteng dan Jaka Seger. 


Bagi Suku Tengger, Gunung Bromo atau Gunung Brahma dipercaya sebagai Gunung Suci. Setahun sekali, masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di Pura Luhur Poten Bromo, yang berada di bawah kaki Gunung Bromo Utara, dan kemudian dilanjutkan menuju Puncak Gunung Bromo. Upacara ini dilangsungkan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan Purnama, sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (Ke sepuluh) menurut penanggalan / kalender Jawa.


Upacara adat lain adalah Unan – Unan, Leliwet, Entas – entas. Dan, untuk tahun ini, puncak rangkaian Upacara Adat Unan – Unan di Desa Argosari berlangsung pada hari Jum’at 23 November 2018, sedang di Desa Kandangan berlangsung pada hari Rabu, 28 November 2018.


Upacara Adat Unan – Unan merupakan perlambang terima kasih Suku Tengger atas hasil panen, bumi pertiwi yang telah menjaga mereka selama ini, memberi berkah bagi masyarakat. Upacara Unan – Unan di puput / di laksanakan hingga tuntas dengan dipimpin oleh para dukun atau pinanditha dari lokasi yang bersangkutan. Misalnya, di Desa Kandangan, berlangsung di Sanggar Bhuana, di puput oleh dukun se kawasan Tengger Brang Wetan. Upacara Unan – Unan ini berlangsung setiap lima tahun sekali, dengan memakai hitungan satu windu wuku, bukan satu windu tahun. Upacara ini pada intinya mengurangi ulan (bulan) atau tuno “unosasih”, yang juga biasa disebut mengurangi malamastaning jagad buana agung dan buana alit. Bertujuan agar perbuatan, pikiran, perkataan, dapat tersucikan kembali, disebut dengan istilah Amrasita bumi sak kureping langit sak lumahing bumi mugi rahayu jagad gumelar. Langgeng ing kerto basuki. 

Rombongan kami dari Bali ingin turut merasakan euphoria spiritual budaya Suku Tengger tersebut. Maka, kami berangkat bersama pada Hari Jum’at pagi, tanggal 23 November 2018. Mengapa tidak sehari sebelumnya ? Karena kami tidak ingin meninggalkan tugas kantor, dan tidak ingin tiba tepat di puncak upacara adat dengan ribuan umat sedang sibuk melaksanakan rangkaian kegiatan. Tentu tidak bisa konsentrasi bersembahyang.



Sungguh beruntung, kami dapat berkumpul bersama dengan umat Tengger, melaksanakan persembahyangan bersama, di Sanggar Agung Purwa Giri Waseso, dengan dipimpin oleh para Pemangku Agama, Tokoh Spiritual, Mangku Sukarto. Juga bersama para pemuda Suku Tengger, Mas Budianto,  Wido Mahendra, dan kawan - kawannya....



Om utedanim bhagawantah
syamota prapitwa uta mandhye ahnam
utodita maghawanta suryasya
mayam dewanam sumantau syama.

Tuhan, Yang Maha Pemurah,
jadikanlah aku sebagai orang yang selalu bernasib baik
pada hari ini,menjelang tengah hari, dan seterusnya.
Semoga para Dewa melindungi diri hamba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar