Minggu, 17 April 2011

Kawin Lari

Ponakanku, Nyoman Westra akan menikah. Hanya itu yang kutahu semenjak minggu lalu. Maka, aku dan suami sudah semenjak minggu lalu pula bersiap. Namun, setiap kutanya, suami hanya memberi sedikit info. Mereka akan kawin lari. Hwalah......

Namun, setinggi apapun derajat, gelar, kita tetap harus tunduk pada adat, pada para tetua. Maka, Hari Sabtu pagi, 16 April 2011, kukeluarkan Yamaha Jupiter MX milik Adi, putra sulung. Aku mengendarai motor tersebut, dengan suami dan Yudha duduk di belakang. Yup, kenapa tidak? Suami menderita radang persendian. Gejala asam urat. Dan... bukan hal aneh toh, wanita turun tangan membantu mengatasi ini, mengendarai motor. Kami tidak memiliki mobil. Adi baru tiba dari SMAN I Denpasar pk 11.00, pas tatkala kami akan berangkat. Dia tidak akan bareng pulang kampung, karena masih ada kegiatan sekolah yang akan diikutinya pada hari Minggu pagi.

Menyusuri jalan menuju ke Sepang Kelod, Asah badung, sepanjang 2 jam dan 30 menit. Hmmm, jadi teringat masa-masa lalu, saat aku dan suami menggandeng Adi pula, namun kali ini bersama Yudha.

Pk 14.30 kami tiba di rumah tua, sisin tukad Pangkung Singsing. Dengan jalanan yang rusak parah tergerus hujan terus menerus tiada henti semenjak bertahun-tahun.... tiada kepedulian dari pemerintah dan masyarakat, lumayan membuat pinggang dan sekujur tubuh ini babak belur duduk di atas motor. Namun inilah fungsi dan makna kebersamaan dalam kluarga. Enjoy aja kaleeee. Kami cuma alami ini sesekali, sedang mereka, penduduk desa ini, hampir setiap hari.

Kulihat ipar, Nyoman Semadi, sudah tiba dan telah selesai sembahyang rarapan. Hmmm, dia tiba 30 menit lebih awal dari kami. Istri dan anak2nya tidak ikut serta karena bapak mertua ada di ruumahnya di Denpasar, Jalan Antasura. Selesai sembahyang, ipar dan suami, juga Yudha, bergerak ke rumah ipar yang lain di Utara.

Pukul 6 sore.... para ipar sudah tiba kembali, berkumpul dan rembug soal rencana malam ini. Ya, Kawin Lari. Eh hehehe. Jadi teringat 17 tahun lalu. Aku juga bersama suami saat itu kawin lari. Mungkin terasa aneh... kami saling jatuh cinta dan mencintai, namun kenapa mesti kawin lari??? Saat itu aku berontak dan terjadi kehebohan luar biasa. Namun lama baru ku ketahui, walaupun orang tua merestui dan kami berdua saling mencintai, tetap berlaku, dimana bumi dipijak, disitu langit di junjung. Tidak mungkin seseorang dari kasta sudra melamar kasta kesatria... dan keluarga suami ingin menyelamatkan muka keluargaku, yaitu dengan kawin lari.

Hahaha.... Seorang Profesor, Doktor, bangsawan, bahkan pemuka agama sekalipun, tetap harus ber negosiasi dengan yang namanya adat, masyarakat. Bahhkan, ponakan ku ini, Nyoman Westra dan calon istrinya, Kadek Trimayani. Knapa mereka harus kawin lari?? Karena si Kadek adalah seorang janda berumur 34 tahun, tidak memiliki orangtua lagi, sedang dia tinggal bersama para iparnya. Nyoman berumur 40 tahun. Agar urusan gampang, ya kawin lari. Ahhh. Inilah adat. Mungkin, kita bisa mengubahnya dan mengembangkan situasi yang ada, namun tentu tidak bisa ekstrim. Semua tentu ada hikmahnya......

Pukul 7 malam, si Kadek di jemput di jalan, bergabung bersama ponakan, Nyoman. Di jalan akan masuk ke halaman rumah, banten kami gelar di tanah. Ada Banten Tebasan Duwur Menggala, Banten Biyukala, Banten Biyukaon, BantenPrayascita. Mbok Ngempi dan Mbok Ketut Sukarti bersama-sama menyelesaikan banten ini, Kadek dan Nyoman natap. Selesai, lalu mereka langkahi seluruh banten sebanyak 3 kali bolak-balik, dan mereka diijinkan masuk ke dalam rumah. Ah, sungguh persis sama dengan apa yang terjadi denganku dan suami 17 tahun lalu. Ada lagi banten yang diletakkan di dalam kamar, di atas ranjang pengantin, Banten Dapetan. Hmmmm. Adat yang unik. Namun, sungguh harus dihargai usaha mereka. Termasuk para saudara yang malam itu juga bertugas mendatangi rumah Kadek, melaporkan peristiwa bahwa si Kadek sudah berada di rumah kami, hingga keluarga dan para iparnya tidak perlu khawatir.

Dahulu, waktu masih remaja, aku pernah berharap dan bermimpi, bakal menikah di gedung megah, dengan berbagai hiasan indah di tubuhku secara adat Bali, dengan kursi pelaminan yg megah. Hahaha..... dan kini, aku sungguh bersyukur. Upacara pernikahan kami dulu sah, baik di mata adat, masyarakat, agama, dan hukum negara ini. Itu saja..... Masih jauh lebih banyak hal yang harus kami syukuri dan kami fikirkan, daripada hanya berkutat soal megah tidaknya, indah tidaknya, ramai tidaknya. Masih jauh lebih banyak orang yang menderita dan harus berjuang dalam hidupnya. Dan bukankah..... bijak atau dewasa tidak hanya ditentukan oleh materi semata????

Hidup adalah sebuah hal yang terkadang tidak bisa ditebak atau di harapkan, namun selalu banyak negosiasi yang diperlukan, rembug bersama, hingga tiap orang bisa belajar menyikapi ini semua dengan berlapang dada dan penuh toleransi pula.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar