Rabu, 20 April 2011

Raden Ajeng Kartini & Dewi Sartika

Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879 dan meninggal tanggal 17 September 1904. Judul buku yang merupakan kumpulan surat-suratnya, Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

RA Kartini yang merupakan puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Betapa ia mampu mendorong semangat kaum wanita dalam memperjuangkan hak-haknya. Beliau membuktikan semangat dan tekadnya dengan mendirikan sekolah gratis bagi anak perempuan di Jepara dan Rembang. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria. Tidak diperkenankan melanjutkan pendidikan, bahkan tidak memiliki kebebasan dalam menentukan jodoh dan pernikahan. Perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, juga kaum pria, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

.Dewi Sartika dilahirkan di Bandung, 4 Desember 1884 dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya seorang patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, hingga kemudian menikah dengan seorang Asisten Residen.

Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar. Tatkala berumur sepuluh tahun, Dewi Sartika membuat gempar. Kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan, apalagi di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan, yakni Dewi Sartika. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir akan masa depan Dewi Sartika. Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis.

http://dwiindralestari.blogspot.com/

http://gunawank.wordpress.com/2010/12/14/biografi-lengkap-raden-dewi-sartika/

Sruti dan Smrtimenjelaskan: Sarvam Khalu Idam Brahma, Segalanya adalah Brahman [Chand. 3.14.1]. Vaasudev Sarvam "Segalanya adalah Kreshna" [BG 7.19]. Isaavaasyamidam sarvam yatkincha jagatyaam jagat, apa pun yang bergerak atau tidak bergerak di dunia, semua ini diliputi oleh Ishwara sendirian. [Isa Upanisad]

Tuhan ada dimana-mana, dalam banyak manifestasinya. Maka... jangan pernah berhenti berharap, jangan pernah berhenti berkarya, dalam jalan Tuhan pula. Smoga semangat Kartini dan Dewi Sartika selalu ada pada jiwa kita semua......


Tidak ada komentar:

Posting Komentar