Sabtu, 04 Mei 2013

Ke Kubu Tambahan demi Pak Mardana, Jum'at 4 Mei 2013

"Bila hidupmu penuh tekanan, apakah yang akan dilakukan??" Seseorang pernah bertanya padaku karena baginya aku tak pernah terlihat berduka....... Ah, sobat. Skala prioritas lah. Menangis dan mengumpat takkan mampu hentikan dan tuntaskan permasalahan dalam kehidupan kita, bukan?? Maka.... lebih kupilih, menjalani hari-hari dengan membiarkan mengalir apa adanya, tetap bersemangat dalam berusaha sekuat tenaga. Di atas langit masih ada langit, di bawah bumi masih ada banyak yang tak kita ketahui. Demikian kata pepatah bertutur.




Ada banyak yg ingin kugapai, ada banyak hal yg masih ingin kulakukan, ada banyak yg tersusun, dan entah kapan terwujud. Namun, jangan sesali yg tak bisa kita miliki hingga kini. Mencoba untuk makin bijak dan shantih saja..... dari hari ke hari.


Jum'at pagi ke Nusa Dua, 4 Mei 2013. Kami wajib apel pagi dan menyelesaikan tugas yang ada, sebelum bergerak ke Kubu Tambahan untuk mengunjungi seorang sahabat yg sedang berduka. Namun aku mendahului ke Denpasar untuk menyelesaikan beberapa urusan sebelum kemudian bergabung dengan para sahabat dalam rombongan bis dari STPNDB.

Pak Nyoman Mardana adalah staf satpam di kampus kami. Anaknya dua hari lalu meninggal karena maag akut yang dideritanya. Ditambah lagi situasi dia hidup terpisah dengan istrinya yang memilih tinggal di Jawa bersama anak perempuan mereka. Padahal, anak lelakinya yang meninggal ini, baru duduk di bangku SMP, dan sering berolahraga bersama kami, staf STPNDB, akrab dengan banyak rekan lain.

Hmmm...... hidup memang tak dapat dihindari dan dipungkiri untuk selalu bergulir. Maka, aku selalu berusaha menikmati dan menjalani selagi masih mungkin, di dunia fana ini.



Pukul 09.30 saat kutelpon Ibu Sri Manis dari Denpasar, untuk menanyakan kepastian posisi kendaraan dari STPNDB, dia bilang masih di seputran McD Sanur. Hmmm, cukup waktu untuk mengikuti mereka hingga ke arah Batu Bulan. Kugeber laju motor dari pusat kota menuju ke arah by pass IB Mantra. Namun, tatkala kupikir mereka masih di seputran by pass IB Mantra, bu Sri Manis via mobile phone mengatakan mereka sudah di Batu Bulan.

Kembali kugeber motor untuk mencegat di Batu Bulan, namun sayangnya arah motorku salah berbelok dari by pass IB Mantra ke arah Sukawati. Sementara mereka sudah di seputran Singapadu. Kami kembali berjanji berjumpa di Payangan.

Akhirnya, setelah berkendara 30 menit, aku tiba di daerah Sayan Ubud. Mereka sedang beristirahat di warung nasi Kedewatan. 5 menit kembali berkendara, akhirnya aku bisa bergabung dengan mereka. Hohoho, que serra serra dah..... Niat sudah bulat. Tekad ku untuk tetap melanjutkan perjalanan. Dan, doa serta harapan, Tuhan kan menjagaku sepanjang perjalanan kami ini.





Seporsi nasi ayam dan sate lilit, berisi sayur urap dan kacang goreng, juga sebotol minuman menenangkan hati setelah upaya bersatu dengan rombongan kami yang terdiri dari 1 bis, dan dua mobil beriringan.

Kusempatkan menyapa pak Tjok, pemilik Krisna Oleh-Oleh yang juga ikut menikmati makan siang bersama rombongannya. Pak Tjok ini terkenal akrab dengan para karyawan, dan baru menerima Tri Hita Karana Award karena juga terkenal dg CSR / Corporate Social Responsibility nya, bagi lingkungan dimana mereka terlibat dalam berbagai aktivitas.






Kembali kami melanjutkan perjalanan. Dan tak mungkin kutitipkan kendaraan motorku di sana, karena kami takkan kembali melalui jalur yang sama. Well, anggap saja sedang dalam rangka perjalanan panjang lain lagi. Toh situasi dan kondisi rumah tangga sudah aman terkendali. Ada Adi yang membantu mengawasi situasi rumah, ada simbok yg membantu menuntaskan beberapa urusan rumah tangga.


40 menit perjalanan dari Kedewatan, kami tiba di depan Pura Batur. Kembali berbelok ke arah Barat, sebelum akhirnya tiba di depan Pura Puncak Penulisan. Sambil menunggu rombongan bis yang masih di belakang kami, rombongan dengan mobil Pregio turun sejenak, menumpang ke toilet umum, dan aku menyempatkan diri mencakupkan tangan bersembahyang, menyapa Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa







1 jam 30 menit dalam perjalanan, kami tiba di Desa Kubu Tambahan, rumah sederhana milik pak Nyoman Mardana. Teman-teman turun dari kendaraan, dan menyapa keluarga Pak Mardana. Kehilangan anggota keluarga senantiasa menimbulkan duka mendalam. Dan, kami ingin berbagi kebersamaan, meski dia seorang satpam di tempat kami bekerja.








Kebersamaan...... sungguh, meski sejenak, namun mampu meringankan beban dan emosi di hati. Bukan harta dan gelar yang mampu memberi kebahagian maksimal, selain kebersamaan dan kesehatan. Ah.... semoga tidak ada duka yang menyingkirkan kebersamaan di antara kita. Dan, semoga kisah kasih di antara kita bisa abadi, meski, bukan kita lagi yang mampu berceritera tentang masa kini, tentang kebersamaan di antara kita.....





30 menit berkumpul bersama, kami mohon diri berpamit pada keluarga besar pak Nyoman Mardana. Ku lanjutkan laju motor ke arah Bungkulan, Sangsit, dan tiba di kota Singaraja, berbelok ke kiri, arah Bedugul, dan menyempatkan mengambil beberapa foto Bali Golf dahulu dikenal dg Bali Handara Kosaido












Tiba di danau Batur, kusempatkan mengambil beberapa foto pemandangan indah, tentang danau yang diselimuti kabut petang. Hmmm...... berkali aku datang kemari, bersama para sahabat dan juga keluarga. Tak pernah bosan memandang keteduhan dan damai terasa kala menikmatinya.




Kembali kulanjutkan laju motor menuju Baturiti, dan kemudian tiba di Sembung, Mengwi. Sedang ada odalan di Pura Puseh Banjar Sayang Kelod, Sembung Mengwi. Para perempuan berdiri beriringan dengan menjunjung dulang berisi banten yang mereka haturkan di Pura sambil berjalan perlahan. Kuhentikan motor dan menikmati mengambil foto mereka sambil bercakap dengan beberapa penduduk.



Para perempuan berkebaya putih dengan corak kembang bulat, berkain batik dan berselendang merah. mereka tersenyum ramah menyapa. "Ini belumlah semua, karena banyak keluarga yang sedang sebel, tidak boleh ikut sembahyang". Ujar mereka. Sebel adalah situasi dimana sebuah keluarga tidak bisa bersembahyang, karena mungkin ada anggota keluarga meninggal, dan lain-lain.







Para pria terlihat memegang ceng-ceng, gendang, dan gong







Para lansia menikmati pemandangan sambil duduk di pinggir jalan, menemani para cucu, berbincang dengan para sahabat dan tetangga mereka. Hmmm, sungguh, ketahanan bangsa terletak dari ketangguhan masyarakatnya pula. Menjunjung keluhuran budaya dengan mengembangkan karakter yang sesuai dengan Desa, Kala dan Patra, senantiasa mengindahkan Tri Hita Karana.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar