Minggu, 18 November 2018

(3) Visual Art Exhibition "Pluralisme", ISI Padangppanjang, 16 Nov - 2 Des 2018, Galeri Mandala Suci Wenara Wana, Ubud


Namanya Mohammad Iqbal. Dia bertutur tentang karyanya, sebuah karya seni fotografis berjudul “Fisherman at Singkarak Lake, berukuran 112 X 75 cm, sebuah foto di atas kain kanvas yang merupakan hasil karyanya pada tahun 2017. “Saya memotret dari atas bukit, mencoba mengamati aktivitas nelayan tersebut, menunggu momen tepat, dan mengambil beberapa gambar yang sesuai, kemudian memilih tampilan mana yang akan saya sajikan, yang bertutur tentang aktivitas nelayan di danau Singkarak”. Sungguh, sebuah usaha yang tidak mudah, menanti dengan tepat sebuah peristiwa yang layak untuk diabadikan, sehingga bahkan, riak dan lekuk air daari danau Singkarak terlihat jelas pada gambar foto yang dihasilkannya. Jangan bandingkan dengan kualitas puluhan foto yang kuhasilkan setiap saat berfoto. Jauuuuuhhh. Bagai jarak dari bumi ke bulan, balik lagi ke bumi. Namun satu hal yang kunggap kurang pas adalah dia tidak menunggu mengambil foto yang lebih memperlihatkan tenaga dinamis sang nelayan saat melempar jaring jala ikannya.



Ada juga Jendi Putra Prima dengan karya berjudul Bicuik Nan Tatanam, sebuah karya seni cat minyak akrilik di atas kanvas berukuran 140 X 90 cm dari tahun 2016. Banyak dari kita sendiri yang menolak fakta bahwa sesungguhnya di dalam diri juga tertanam sifat-sifat dan sisi negatif. Kita menolak dinyatakan buruk rupa, berupaya tampil sempurna, menolak disebut rakus, emosian, baperan, egois, angkuh, padahal sebenarnya semua sisi ini ada di dalam diri kita. Lihatlah bagaimana Jendi menggambarkan sosok manusia memeluk kerangka tulang belulang yang tetanam di dalam dirinya. Ini cerminan “Sadripu” enam sisi negatif manusia dalam istilah masyarakat Bali, yang harus selalu kita kendalikan agar tidak mengganggu aktivitas kehiduppan kita.


Ada Juli Hendra, dengan karyanya yang berjudul “Tabuik Paiaman”. Memandang karya seni fotografinya mengingatkan akan upacara Ngaben dengan bade nya bagi masyarakat Hindu. Dia bertutur jauh ke belakang, tentang sejarah keberadaan masyarakat Padang Pariaman, tentang masa kecilnya, tentang kenangan akan ritual Tabuik yang dahulu begitu disakralkan oleh masyarakat Minang. “Tahukah ibu, bahwa terdapat sepuluh rangkaian ritual yang harus dilakukan sebelum sepasang Tabuik dibawa menuju arah Pantai, berjalan sejauh lebih kurang 5 km, menuruni perbukitan, dan kemudian beradu di bibir pantai”, Ujarnya dengan penuh semangat. Juli bertutur mengenai fotografi hasil karyanya. “Jika dahulu ritual keagamaan ini merupakan hal sakral dan terjadi bertepatan tanggal satu Muharam, hanya untuk konsumsi masyarakat Pariaman saja, maka kini kegiatan tersebut semakin meriah, bahkan sudah melibatkan berbagai tamu yang datang sebagai wisatawan, dan menjadi ajang atraksi wisata”, Juli menambahkan lagi.

“Dan kini, perlahan, Upacara Tabuik Paiaman ini telah berubah menjadi konsumsi pariwisata. Sesuatu yang dahulu begitu disakralkan, dikeramatkan, telah mengalami komodifikasi wisata”. Ujar Juli pula

Ah, inilah anak muda, mahasiswa, seniman era milenial dengan multi talenta, multi tasking yang mereka miliki, merekalah pemilik dunia ini. Betapa mengagumkan lompatan dentum milenium yang mereka lakukan, mampu memahami berbagai aspek kehidupan masyarakat di sekitarnya, mulai dari ekonomi, sosial, politik, mereka juga menguasai beragam informasi dengan begitu lengkap dan cepat bak cahaya, memahami teknologi dalam penyajian seni secara digital, natural, dan tetap indah dalam komposisi kecepatan, keakuratan pengambilan cahaya juga pergerakan lensa kamera dan menyajikan dalam bentuk karya seni. Mereka mewakili anak-anak era kini, yang berani mengambil tindakan, menentukan langkah, menampilkan karya seni secara maksimal, sekaligus juga mempresentasikannya secara apik bagi para penikmat seni, bagi para pencinta seni, bagi para kritikus, dan bagi siapa pun yang ikut menyaksikan karyanya, mereka juga berani mempertanggungjawabkan hasil karya nya, siap untuk berdiskusi dan bahkan berdebat.

Sayang, tidak semua seniman dari ke 48 karya seni di pajang pada pameran ini bisa hadir. “Kami terkendala berbagai urusan administrasi dan kesibukan yang juga ada di kampus kami”, Ujar Ketua panitia Pameran “Pluralisme”, Yandri, S.Sn., M.Sn.

Sayang pula, tidak bisa menikmati seluruh rangkaian seni dengan tenang. Begitu banyak ragam karya yang tersaji, membutuhkan ruang waktu dan pemahaman yang bersungguh pula. Kita tidak bisa hanya sekedar memahami sebuah karya yang tersaji dan terpapar di hadapan kita. Harus memaknai pproses penyajian karya seni pula, menelusuri riwayat nya memahami masyarakat dimana karya tersebut berawal dan bertumbuh kembang, seperti pemahaman ku akan nilai-nilai pada masyarakat Minang, tentang matrilineal, tentang kegelisahan mereka, tentang ketangguhan mereka di rantau orang, tentang semangat persaudaraan, aaahhh, sungguh, tak cukup waktu ku bercumbu dengan seluruh karya indah yang tersaji……

Tentu tidak mudah bagi para seniman muda ini untuk tampil sekaligus bersamaan. Mengurus ke 48 seniman muda, mahasiswa yang mempertanggungjawabkan tugas akhir dengan menampilkan karyanya, di suatu daerah yang jauh terpisah dari Padang, bahkan, mungkin, baru pertama kali mereka berkunjung kemari. Apalagi di suatu daerah bernama Ubud, yang terkenal sebagai destinasi wisata internasional, di pusat aktivitas kehidupan masyarakat yang kental dengan suasana serta aktivitas adat istiadat, spiritual, seni. Namun, keberanian mereka uji nyali patut diapresiasi. Bagi masyarakat penikmat seni sendiri, hal ini tentu membawa angin segar, bahwa kita memiliki banyak nuansa seni dan budaya yang bertumbuh dan berkembang di berbagai belahan nusantara, bahwa seniman tidaklah elok berhenti berkarya, bahwa budayawan harus bersikap dinamis dan siap menjadi agen agen pperubahan, yang menjadi motor penggerak di tengah masyarakat, ke arah yang semakin baik dari hari ke hari, bersinergi dengan berbagai pihak lain, dengan seniman dari daerah lain, dan bahkan, dengan saling mengunjungi, membawa misi seni dan budaya.

Visual Art Exhibition bertajuk “Pluralisme”, yang akan berlangsung hingga tanggal 2 Desember 2018, yang menghadirkan karya seni lukis, seni kriya, seni desain komunikasi visual, peach work art,  seni perfilman, seni fotografi, seni media, dari 48 seniman mahasiswa ISI Padangpanjang : Rajudin, Ibrahim, Harissman, Zulhelman, Juprinaldi, Hamzah, Yunis Muler, Armen Nazaruddin, Ferry Fernando, Aryoni Ananta, Olvyanda Aresta, Kendall Malik, Yulimarni, Juli Hendra, Febrian Iqbal, Jendi Putra Prima, Genta Putra Mulyawan, Rafki Bakti Jaya, Awan, Gladysmara, Dio Oktoviandi, Riadi Ferdi Sihombing, Andika Putra, Jeki Aprisela, Novriadi, Julion Afdil, Jelly F., Murdiono, Zaky Nusyirwan, Diana Aprilia, Surkapri, Arif Rahman As., Ivan Saputra, Muhammad Iqbal, Dimas Fajrian, Jefri Riadi, Yorie Aviorel Daffa, Genta Noverda Putra, Fajrin Pratama, Dika Saputra, Aprivaldi El Ikrimi, Zul Fadhli, Yeyen Darmawan, Reny Gusvita, Windy Nasir, Suri Handai Yani, Suseva Dina Putri, Maksal Mina.

Andai, aku adalah dosen mereka, akan kuberikan nilai maksimal bagi mereka, karena kerja keras mereka, semangat mereka, dan berbagai hal yang mereka lakukan, telah mencerminkan kelas mereka, jati diri, inilah anak muda, seniman yang berpotensi menjadi tenaga penggerak dalam berbagai sendi kehidupan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar