Kamis, 15 November 2018

Pande I Made Dwi Artha di Museum Neka


"A great man is always willing to be little". Ralph Waldo Emerson

Tatkala menerima undangan untuk menikmati karya seni seorang Pande I Made Dwi Artha, kupandangi kartu tersebut. Siapakah dia? Kucoba telusuri rekam jejak nya. Hmmm, seorang pria muda. Masih sangat belia. Namun mengapa sudah begitu berani mengadakan pameran tunggal? Bahkan, seorang Doktor jenius terkenal yang berkenan menjadi kurator baginya. 


 Dilaksanakan di Museum Neka yang terkemuka. Ah, umurnya baru 21 tahun. Bagaimana mungkin, seorang remaja pria, sudah dengan pongah nya ber pameran tunggal, mencoba menyaingi para seniornya, yang mungkin sudah berkarya bertahun, bahkan bisa jadi berpuluh tahun.

Seorang mahasiswa STIBA bernama Pande I Made Dwi Artha. Perjalanan kehidupan mahasiswa yang masih mencoba belajar menapaki kehidupan, antara urusan keluarga, banyaknya tugas kuliah, dan, ragam budaya di tengah masyarakat. Bagaimana mungkin dia akan bisa memiliki kompetensi seorang budayawan, bahkan seniman yang berkualitas, sehingga layak mengadakan pentas tunggal?



Bahkan, katalog lukisannya belum kudapatkan. Tapi banyak karya nya yang sempat kupandang melalui rujukan rekam jejak yang bisa kudapat, membuat jiwa ini tergetar. Ada ketegasan disana. Setiap guratan terlahir dengan jelas, begitu rinci menjalar, memenuhi setiap ruang karya nya yang terisi dengan rapi, seolah setiap garis, setip titik, bersatu indah, sehingga bisa berbicara dengan sangat tajam. Bahkan, tidak ada kesalahan di mataku, seorang penikmat seni level emak-emak, bisa dengan lugas menikmati indah karya goresan tangan Pande I Made Dwi Artha.


Karyanya sudah memperlihatkan gaya tersendiri, tidak asal meniru, bahkan bukan peniru gaya dari karya ayahandanya sendiri. Hmmm, dia memiliki kelasnya tersendiri, pemilik kesujatian diri, dan, ini hanya bisa dicapai oleh seniman yang sudah sangat berkompeten, sangat percaya diri, dan, tetap dengan gayanya. Inilah seniman yang rendah diri, tidak gembar gembor, namun setiap karyaya sudah memeperlihatkan kualitas dirinya sendiri..... Tapi di atas itu semua, dia tidak bisa meninggalkan kodratnya sebagai seniman Batuan. Corak ragam dan gaya Batuan terlihat mengalir dari goresan, sapuan, dan penyelesaian setiap karyanya.


Kali ini merupakan pameran tunggalnya yang ke dua. Pada tahun 2017  Pande I Made Dwi Artha menyelenggarakan pameran tunggal dengan menyertakan 9 lukisan ber bahan cat akrilik. Di Museum Seni Titian Bali, pada hari Sabtu,  tanggal 2 September  hingga 3 Oktober 2017. Terlahir tahun 1998, belajar mengenal filosofis dan teknik lukisan Batuan dari sang ayah, I Ketut Kenur. Pada umur 12, dia bahkan telah memamerkan lukisan hasil karya di Museum Puri Lukisan Ubud. Pada usia 17 tahun, di tahun 2015, dia mulai terkenal dengan lukisan Men Brayut dan Pan Brayut yang memperlihatkan potensi dan kompetensi diri dalam dunia lukisan.


Pameran kali ini di Museum Neka dengan 19 karya lukis besar, belasan berukuran kecil (20 X 20 cm) memperlihatkan kematangan seniman Pande I Made Dwi Artha dalam bermain dengan perangkat lukisnya. Yang sangat kunikmati adalah, betapa dia bisa masuk ke seluruh sendi syaraf para penikmat karya seninya, menggugah emosi jiwa, tepat mengena ke hati berbagai kalangan. Bisa di terima dan di cerna dengan mudah oleh siapa saja, bisa diberi makna oleh siapa saja, tanpa perlu berpikir keras dan rumit, bahkan, oleh seorang emak-emak sepertiku.


Menikmati setiap guratan garis, lengkung, bulatan, cekungan, menikmati tarian gadis Bali yang bergerak gemulai seirama gamelan yang mengiringi, terasa harmoni. 
"Saya selesaikan tiap lukisan rata rata satu bulan", ujar Pande I Made Dwi Artha. Kubayangkan.... Karya "Keck Dance" dengan begitu teliti pada setiap goresan yag dihasilkannya, tuntas dalam satu bulan, setiap detil nya begitu bermakna..... ah, dia benar-benar berjuang untuk tiap lukisan, sehingga tidak asal jadi. 


Bahkan, pada lukisan "Ibu Pertiwi", Pande berhasil memaknai sosok perempuan Bali era milenial, berpijak pada satu sisi tradisional, dan sisi lain, berpijak pada jenjang karir, pada dunia kehidupan milenial, pada jaman serba kekinian antara tradisi dan religi, juga globalisasi. Hmmm, setiap karya juga dihasilkan dari penelitian dan pemahaman mendalam terlebih dahulu. Ini berarti bukan suatu karya yang asal-asalan atau sekedar jadi belaka.

Menikmati beragam warna pada lukisannya, membuat suasana hati ingat pada merah, hijau, kuning, biru, dan pelangi kehidupan, mudah dicerna...... meski Pande I Made Dwi Artha mewarnai lukisan dengan hitam dan putih, dan ragam warna lain, terasa komposisi warna tidak membuat sakit di mata dan di hati. 



Kemampuan menyatukan warna dan karya, juga tetap mempertahankan makna yang ingin dicapai penulis, sehingga bisa diterima dan dimaknai oleh penikmat seni, membutuhkan seni tersendiri. Dan Pande mampu melakukan hal ini, membuat karyanya bisa diterima banyak kalangan berbeda. Sungguh satu prestasi yang bisa dicapai sedikit perupa...... Setiap karyanya diperlakukan dengan sangat khusus, begitu eksklusif. "Saya bahkan berusaha mendapatkan kembali karya pertama yang saya buat. Dan, meski karya saya terjual, saya berupaya tetap mengikuti perkembangannya hingga kini". Ah, sisi positif dari seorang seniman. Karya adalah dinamika jiwa, dan dia memperlakukan setiap karya begitu istimewa, setiap guratan begitu tertata indah hingga terangkai makna di setiap lukisan, termasuk di setiap karya karya nya yang berukuran kecil pula.


Karyanya bertutur tentang realita kehidupan, logika atau daya nalar sosok manusia, tentang rwa bineda, tentang rasa, tentang raga, tentang nafsu, hasrat, birahi, harapan, aktivitas pada berbagai ruang kehidupan, hingga aspek religius spiritual yang kental melingkupi masyarakat Bali.  Semua tentang sifat manusia, sosok alami, natural, hingga surealis, terkait rakus, tamak, lemah lembut, sosok keibuan, figur pemimpin, alam pedesaan, jaman milenial..... dan, karya mutakhir Pande I Made Dwi Artha yang diselesaikan tepat sesaat sebelum pameran dibuka, "Kala Rahu". Saya disibukkan dengan jadwal ujian tengah semester di kampus, sehingga karya ini baru rampung pagi harinya", ujar Pande.

Tepat di buka pada tanggal 10 November 2018. Hari ini adalah Hari Pahlawan. Saniscara Wage Kulantir. Bukan tanpa makna, bila hari ini bertepatan dengan Pembukaan Pameran DeFINE Us. 
Hari ini adalah petanda dan penanda, bahwa Seorang Seniman Muda dan Berbakat, Seniman Besar yang membawa nama besar Batuan, memaknai dirinya, memberi kesempatan luas masyarakat untuk turut memberi makna bagi dirinya. Jadilah pahlawan bagi dirimu sendiri, bagi keluarga dan juga masyarakat Batuan...... karena Seniman adalah Pahlawan, dengan semangat Pahlawan, dengan karya Pahlawan, menjadi pahlawan bagi negeri, bagi kita semua, bagi semesta.......


Selamat, Pande, salut padamu. Muda usia, namun kaya imajinasi, dengan kompetensi seorang seniman berkualitas, berani menentukan jati diri, dan, sudah tiba pada kesujatian diri. Biarlah banyak penikmat seni memaknai setiap karya senimu. Jangan pernah lelah berkarya, jangan pernah jumawa, karena seniman jumawa dan tanpa karya hanya sosok raga belaka tanpa makna......

Teringat petuah Mr. Brown.
Every person that you meet knows something you don't. Learn from them (H. Jackson Brown Jr.). Jangan pernah remehkan orang lain. Belajar lah dari mereka.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar