Sabtu, 11 Juni 2011

Tumpek Wariga / Tumpek Bubuh, Local Genius Wisdom Lain Lagi...


Annaad bhavanti bhuutaani.
Prajnyaad annasambhavad.
Yadnyad bhavati parjanyo
Yadnyah karma samudbhavad.
(Bhagavad Gita.III.14)


Makhluk hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan. Hujan berasal dari yadnya. Yadnya itu adalah karma.

Tanpa tumbuh-tumbuhan, semua makhluk bernyawa tidak dapat melangsungkan hidupnya, karena bahan pokok makanan hewan dan manusia adalah tumbuh-tumbuhan. Adanya tumbuh-tumbuhan adalah yadnya dari bumi dan langit kepada semua makhluk hidup ini. Dan.... masihkah kita tidak menghargai apa yang telah boleh kita terima dari bumi pertiwi? Bagaimana cara kita menghargainya? Ini lah salah satu bentuk kearifan budaya lokal yang sungguh Adi Luhung..... Tumpek Wariga.
Tumpek Wariga dikenal juga sebagai tumpek bubuh, tumpek pengatag, tumpek pengarah. Jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, Wuku Wariga, atau 25 hari sebelum Galungan. Rangkaian upacara ngerasakin dan ngatagin dilaksanakan untuk memuja Bhatara Sangkara, manifestasi Hyang Widhi, memohon kesuburan tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia.Tumpek Wariga adalah hari untuk menghaturkan puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Dewa Sangkara (masyarakat Bali Kuno menyebut sebagai Kaki Bentuyung), Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan dengan menghaturkan bubur/bubuh. Selain itu,Tumpek wariga juga merupakan rangkaian awal dalam persiapan menyambut hari raya Galungan.
Ketut Wiana, 1 Maret 2005 menjelaskan dalam
http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/1878.htm

Manusia sebagai makhluk hidup yang paling serakah sering berbuat tidak adil kepada keseimbangan hidup tumbuh-tumbuhan tersebut. Untuk menumbuhkan sikap yang adil dan penuh kasih kepada tumbuh-tumbuhan, umat Hindu memohon tuntunan Dewa Sangkara sebagai manifestasi Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, umat Hindu di India memiliki ''Hari Raya Sangkara Puja'', sedangkan umat Hindu di Bali memiliki Tumpek Wariga sebagai hari untuk memuja Dewa Sangkara.

Kemasan luar perayaan Sangkara Puja di India dan hari Tumpek Wariga di Bali tentunya berbeda, tetapi maknanya tidak berbeda. Kedua hari tersebut sebagai suatu proses ritual yang sakral untuk mengingatkan umat manusia agar selalu memohon tuntunan Tuhan dalam mengembangkan dan melindungi tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanan makhluk hidup yang paling utama.


Ni Made Putri, S.Sos, 15 Sept 2009, menjelaskan dalam
http://www.denpasarkota.go.id/main.php?act=edi&xid=54

Tumpek bubuh / tumpek wariga juga disebut tumpek pengatag merupakan turunnya Hyang Ciwa untuk memelihara keharmonisan kehidupan di dunia. Perayaan tumpek wariga ini 25 hari menjelang Hari raya Galungan bertujuan agar pohon / tumbuh tumbuhan yang ada disekeliling kita diharapkan dapat memenuhi kebutuhan umatnya. Seperti tumbuh tumbuhan, daun daunan dan bunga bungaan .

Dalam konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag dihaturkan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa Penguasa tumbuh-tumbuhan yang dikonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Memang, menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh-tumbuhan.


Perayaan hari Tumpek Pengatag mengajarkan pada umat manusia bahwa kita wajib bersyukur atas harmoni yang membantu kita tinggal dalam alam kehidupan kini. Menghormati dan menghargai bumi dan seisinya, khususnya tanaman yang ada, memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan.


Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi gaya Bali dan kini bisa direaktualisasi sebagai hari untuk menanam pohon. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk memahami dan bersyukur atas segala jasa Ibu Pertiwi kepada umat manusia. Bersahabat dengan alam, tidak merusak lingkungan, belajar dari pengalaman para leluhur / para tetua Bali di masa lalu, yang telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga.

Kesadaran yang tumbuh dalam pengertian makrokosmik, dalam konteks semesta raya, tidak hanya semata Bali. Visi dan misi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum manusia dimasa kini menggemakan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan arif. Bahkan jauh sebelum orang menetapkan Desember sebagai bulan menanam pohon.


Perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali menghadirkan ironi tersendiri. Ketut Wiana menjelaskan bahwa dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali tak tampak secara signifikan. Kenyataannya, alam Bali tiada henti tereksploitasi. Situasi terakhir, dengan adanya rencana untuk menjual pasir di pesisir pantai Tabanan.

Situasi serba paradoks ini sesungguhnya lebih dikarenakan ide perencanaan dan pelaksanaan dalam bentuk yang menyimpang, pemaknaan yang tidak total atau tanggung terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual-ritual itu yang sesungguhnya hanya alat, sebatas wadah untuk mengingatkan, tidak diikuti dengan laku nyata, tidak disertai dengan aksi konkret. Karenanya, yang mesti dilakukan saat ini adalah upaya untuk memaknai ritual-ritual itu secara lebih kontekstual dan total sekaligus menyegarkannya dalam tataran laku tradisi. Perlu ada reaktualisasi terhadap kearifan-kearifan tradisi yang dimiliki Bali.


Karenanya, menurut pandangan Ketut Gobyah, salah satu pemuka masyarakat, akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pohon serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan tindakan nyata, satu orang menanam satu pohon. Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental.


Mari terus menerus menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan kita. Dalam skala kecil, berawal dari lingkungan tempat tinggal kita dahulu. Menanam tumbuh-tumbuhan untuk kelestarian lingkungan, dan dijadikan sarana memuja Tuhan. Dalam skala yang lebih besar lagi, mengaktifkan dengan menanami berbagai jenis tanaman pada banyak lahan tidur di Bali. Hasilnya akan bisa dimanfaatkan masyarakat Bali sendiri tanpa harus tergantung dari pasokan luar Bali, khususnya dalam memenuhi berbagai kebutuhan sarana upacara keagamaan.

Hal inilah yang semestinya kita lakukan secara terus menerus, dan berkelanjutan, mengajegkan flora dan fauna Bali. Secara berkala dalam merayakan hari Tumpek Wariga, di samping secara niskala kita melakukan upacara keagamaan. Dengan demikian, dari Tumpek Wariga ke Tumpek Wariga berikutnya kita dapat menyaksikan berbagai kemajuan dalam pelestarian tumbuh-tumbuhan Bali.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar