Jumat, 14 Desember 2012

Horreee, hujan dan air, dan kami asyik bermain air



Jum’at, 14 Desember 2012. Hujan deras yang turun semenjak pagi dini hari, pukul 00.30, bagai tercurah dari langit. Petir menggelegar membahana, gemuruh terus menerus, membuatku was-was tiada henti. Ya, rumah kami berada di daerah rawan banjir. Namun mau bilang apa lagi? Menangis takkan menghentikan permasalahan dalam kehidupan. Usaha dan perjuangan tiada henti untuk menjadi semakin tegar dan lebih baik lagi, itu akan membantu kita menikmati apa yang ada, yang menjadi bagian dari sisi untuk jadi pribadi tangguh nan bijak.
Dahulu, perumahan kami ada di daerah yg tinggi. Aku masih ingat, saat mencari rumah masa depan tempatku bermimpi dan berharap melewati hari-hari tuaku. Kala itu aku belum menikah, seorang perempuan muda nan idealis tanpa sepeser pun di kantong baju atau dompetku. Memilih rumah tipe paling sederhana, tipe 21 non finishing, dengan halaman bermain bagi anak-anakku kelak, yang bahkan, untuk naik ke teras rumah, aku harus bersusah payah menaikkan kaki karena tingginya.

Namun seiring waktu berjalan, semakin banyak perumahan lain dibangun di daerah utara, dan di sekitar perumahan kami, membuat kami berada di daerah yang rendah. Sudah berbilang tahun kami lewati dengan banjir dan banjir, selalu was-was setiap kali hujan deras turun berhari, terlebih, di bulan berakhiran ber ber ber, yakni musim hujan.
Anak pertamaku masih berusia 3 tahun, tatkala banjir pertama kami alami. Tahun 1999, bulan Desember. Air deras masuk dengan cepat ke dalam rumah, hingga 30 cm. Kami tidak sempat menyelamatkan barang, ratusan buku koleksi bersama ku dan sang suami, baju dan beragam barang lain terendam dalam air. Dam di daerah utara jebol. Padahal, dam itu yang menghalangi air sungai masuk ke daerah kami.
Anakku trauma bertahun. Setiap kali hujan turun, dia menangis dan berkata lirih, “Ma, kita akan kebanjiran lagi kah? Kemana kita akan mengungsi?”. Duuhh, kutenangkan hatinya, kuyakinkan, bahwa kita akan melalui setiap ujian kehidupan bersama-sama, meski kita menderita, namun ada banyak orang lain yang jauh lebih menderita, dan, aku akan selalu membimbing dia dalam beragam situasi.


Suamiku berulangkali mengatakan, kita harus pindah. Namun, setiap permasalahan tidak bisa tuntas semudah membalik telapak tangan, bukan? Hidup terkadang tidak seindah harapan dan impian, tidak semudah apa yang kita bayangkan. Apa seninya bila selalu berjalan lurus dan mulus saja? Dimana letak indahnya, bila adrenalin tidak diuji dengan segala tantangan dan rintangan dalam kehidupan? Hanya duduk bermalasan dan menanti durian jatuh dari langit? Lagipula, aku yakin, seleksi alam akan membuktikan tingkat kedewasaan dan kebijakan dalam diri seseorang. Melakukan yang bisa kita lakukan, meski sekecil apapun nilainya di mata orang lain.
Bersyukur, semenjak setahun lalu kami sudah memiliki pompa untuk memompa air dari dalam rumah dan pekarangan rumah ke luar, ke got yang terletak di samping rumah. Sudah semenjak 10 tahun lalu, kubuat beton di depan rumah, setinggi 50 cm, di depan rumah, yang menghalangi laju air ke dalam rumah, dan hanya menyisakan jalan bagi motor dan sepeda anak-anak untuk keluar dan masuk pekarangan. Namun tetap saja, air bisa merembes masuk dari dalam tanah, dan muncul dengan sukses, bak air mancur, dari sela-sela ubin / keramik di dalam rumahku, di halaman rumah.
Lalu, apa yang kami lakukan terhadap hujan kali ini? Adi dan Yudha memilih tidak masuk sekolah. Aku mencoba melihat situasi, bila banjir surut, mungkin siang nanti ke kantor sejenak, melihat persiapan buat ujian akhir semester para mahasiswaku yang akan dilaksanakan minggu depan.
Kami bergotong royong bersama, Pompa dipersiapkan, dan sesekali dipergunakan untuk memompa air di halaman yang sudah penuh, ke luar halaman rumah, dibuang ke got di samping rumah kami. Air setinggi 5 cm di dalam rumah terus menerus di sapu ke luar rumah, agar tidak ada lumpur tersisa. Bila ada lumpur sisa banjir yang sudah terlanjur kering, akan jauh lebih sukar untuk membersihkannya. Semua lubang pembuangan air ditutup, agar air dari luar tidak kembali masuk ke dalam rumah dan pekarangan kami. Air di jalanan depan rumah sudah jauh lebih tinggi dari halaman kami.
Suamiku menyapu air yang memenuhi halaman rumah kami agar mendekati pompa air, sehingga gampang disedot dan dibuang keluar pekarangan. Simbok menyapu air yang di dalam rumah, agar keluar. Adi dan Yudha mencoba membantu dengan menyapu air dan mengepel hingga bersih.
Tetangga di depan rumah sudah dijemput oleh saudaranya dengan mobil, mereka pindah sementara karena di dalam rumah sudah terendam air setinggi 30 cm. Ibu rumah tangga ini tinggal bersama ke empat anaknya, memiliki toko di daerah Kuta, dan mengurus sekolah anak-anaknya. Suami yang seorang mangku tinggal di Kintamani, mengurus perkebunan mereka dan bertanggungjawab terhadap beragam upacara di Pura Desa di kampungnya. Kasihan pada mereka, namun mau bagaimana lagi, kami hanya bisa saling memotivasi untuk tetap tegar menjalani segala yang ada.
Bersama Yudha, aku berkeliling sejenak mengamati situasi banjir di sekeliling rumah. Bagi anak-anak, terkadang hujan melahirkan anugerah, bagi semangat bermain mereka, bersepeda di jalanan dalam genangan air,  berlarian dan saling menyimburkan air. Berpayungan dan saling menyapa para sahabat. Hmmm, sungguh, anak-anak dan dunia bermain mereka. Lagipula, bukankah, dalam diri kita selalu terdapat jiwa kekanakan yang selalu suka bermain pula?
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 saat air surut, tinggal gerimis membasahi bumi. Kusiapkan sepiring penuh nasi, ikan asin, sayur tahu, segelas besar teh panas, dan…. Kami saling bersuapan setelah lelah terkuras tenaga demi atasi banjir ini. Kusuapi anak2ku, Yudha dan Adi. Dan, 3 porsi besar nasi tandas dengan cepat. Hehehe, kapan lagi sempat menyuapi mereka ya… sudah besar, menikah, punya keluarga dan anak sendiri, masih mungkinkah saling bersuap-suapan??
Pukul 12 siang, kami terkapar lelah. Adi tertidur lelap di ruang tamu, Yudha tertidur dalam pelukanku di kamar. Si bapak tertidur di perpustakaannya. Satu ujian lagi kami lewati. Satu tahapan membuktikan kebersamaan adalah di atas segalanya. Bukan piagam atau piala yang membuktikan level prestasi kita, bukan pula materi berupa harta dan jabatan yang menjadi pertanda tingkat kesuksesan kita, namun proses dalam menjalani beragam tantangan juga rintangan. Seberapa jauh kita mau berusaha, berjuang, meski kecil, namun tidak pernah lelah dan berputus asa…….
Pukul 4 sore, Yudha berpamitan untuk berkumpul bersama teman-teman dan bersepeda bersama di area perumahan kami. Adi sudah terjaga dan kembali bekerja, memunculkan ide-ide kreatif nya. Dia akan berjualan kue cup cake. Dia membuka laptop dan merancang brosur. “Hari Ibu akan jadi target Adi kali ini” ujarnya bersemangat. Ada teman sekolahnya, sesama murid SMANSA, yang senang membuat kue, dan, mereka mencoba berkolaborasi dalam beragam kreasi.
Dheeeuuuh. Kutanamkan semangat untuk selalu berjuang dan berusaha, memiliki jiwa entrepreneurship / wirausaha sedari dini, tanpa merasa malu dan ragu berjuang di bidang apa pun, se kecil apapun…. Kuberi saran, untuk menangkap peluang pula, Hari Ibu, Hari Natal, Tahun Baru, Cup Cake disertai dengan bunga gratis, beragam quotes menarik di pembungkus kemasannya.
Well…. Banjir kali ini, selalu ada hikmah dibalik tiap bencana yang hadir….. Mempererat kebersamaan kami, menjalani hari demi hari, bersyukur atas segala yang hadir, suka duka, lara pati. Keluargaku, mungkin, bukan keluarga terbaik. Keluargaku, mungkin, bukan keluarga bergelimang materi. Keluargaku, mungkin, bukan keluarga idaman. Namun setidaknya, kami sudah berusaha memberi arti, meski kecil dan tiada nilai bagi dunia, tapi, inilah keluargaku….. Kupanggil mereka semua, My Lovely Handsome Amazing Bodyguards…. Dewa Penjagaku, yang menginspirasiku, para pejuang tanpa kenal lelah, tak mudah berputus asa, anak-anakku terkasih….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar