Sabtu, 20 November 2010

Piodalan di Anggara Kasih Julung Wangi


Bapak dan ibuku selalu berkata.... "Jangan pernah lupakan Tuhan, leluhur, dan orang-orang yang ada di sekitar kita. profesor doktor sekalipun, seorang terpandang sekalipun, jika melupakan ajaran agamanya, dan tidak bisa menghargai dirinya sendiri, akan percuma jadi manusia". Maka.... walau se sibuk apa pun, aku coba untuk sempatkan jalani hidup dengan sebaik mungkin. Prinsip Tri Hita Karana, dengan Parahyangan, Palemahan, dan Pawongan, sungguh berguna. Coba menjalani kehidupan dengan sebaiknya, menciptakan hubungan harmonis, baik dalam hubungan dengan Tuhan, dengan leluhur, dan umat manusia.

Mungkin, aku bukanlah orang yang terbaik, atau orang yang terhebat. Namun selalu berusaha untuk menjadi semakin baik, dari hari ke hari... Beberapa hari terakhir ini.... di sela kegiatan mengikuti perkuliahan pada jenjang pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Udayana, program Doktoral, Program Studi Kajian Budaya, memberikan perkuliahan dan bimbingan di lembaga dimana aku mengabdi, Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali, mempersiapkan pemantapan berjalannya Pusat Penjaminan Mutu di STPNDB, dan mengajar di malam hari Jum'at ini, di Paket Kejar C, kupersiapkan pula banten bagi persiapan odalan.

Odalan adalah hari raya bagi umat Hindu dalam memperingati hari lahirnya sebuah Pura atau Merajan, atau Sanggah. Dan, kali ini adalah Sanggah Dadia, bagi warga Tanjung 2, Shri Arya Shri Kresna Kepakisan, yang jatuh pada hari Selasa, 23 November 2010, Anggara Kasih Julung Wangi. Berlokasi di dusun Kapit, desa Nyalian, Kecamatan Banjarangkan, kabupaten Klungkung.

Pagi ini, setelah putra sulung ku berangkat sekolah, aku mengantar si bungsu ke sekolah, sekalian, mengecek jadwal ulangan umum bagi mereka, minggu depan. Suami melanjutkan diskusi dengan para pembimbing disertasinya. Lalu, dengan mengendarai motor, kubawa dua kampil bekas beras berukuran 25 kg, berisi jejahitan, mulai dari sampian gantung, dan juga lamaknya, untuk dipersembahkan bagi Sanggah Dadia keluarga besar. Jumlahnya sekitar 50 set. Juga ada, sampian pusuh, panak sampian, dan berbagai macam pernak-pernik lain.

Setiap bergerak sekian kilometer, selalu kusentuh karung beras berbahan plastik tersebut, untuk meyakinkan bahwa dia masih berada di belakang boncengan motorku. Setiba di jalan Prof. IB Mantra, dekat pura Masceti, kembali kuraba. "Hah.... tidak ada lagi". Hanya tertinggal satu kantong plastik merah. Hmmm, segerak ku putar arah motor, kembali menyusuri jalan raya yang sedang mengalami perbaikan itu. Ku berharap, segera kutemukan kembali kantong kampilku. Sungguh tidak bernilai bagi orang lain yang temukan, namun bagi kami, ahhh, sungguh besar artinya. Namun, bahkan, hingga mendekati arah jalan raya by pass Ngurah Rai, tidak kutemukan. Ah ha... mngkin, mereka yang menemukannya, mengira isinya adalah benda berharga, dan... segera menyembunyikannya, lalu memeriksa isinya.

Duh, Dewa Ratu..... Ida Sang Hyang Widhi Wasa...... Jika memang benar ini adalah ujian darimu, maka, akan kuterima, kuhadapi dengan pasrah. Bhaktiku, Yadnya ku kepada Mu, sedang alami cobaan. Maka, kulanjutkan perjalanan ke Klungkung, dan segera menelpon rumahku di Denpasar. Simbok dan anak2 yang sudah tiba dari sekolah kuminta untuk segera memulai proses pembuatan jejahitan kembali. Bersyukur, masih ada busung duang pesel, bunga pacah dan mitir yang baru kubeli. Dan... bisa segera memperbaharui yadnya kepada Beliau. Ah haha......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar