Selasa, 11 Januari 2011

Penjual Kursi Kayu


Senin, 10 Januari 2011. Pulang dari kantor, menyusuri jalan Gunung Soputan. Waktu sudah pukul 17.00. Hmmm, ga lama lagi tiba di rumah jumpa seluruh anggota keluarga tercinta. Kulihat seorang bapak tua. Dia duduk di depan kuburan desa, di depannya ada gerobak berisi tempat tidur dari kayu dua buah, kursi kayu dua. Penjual perabot kayu. Kulewati saja dia. Lalu aku berhenti pada sebuah toko bahan bangunan. Bertanya tentang papan triplek selebar 1 cm, harga kayu, paku, dll. Aku ingin membuat rak kayu bagi komputer yang baru kami beli. Namun ternyata... setelah dipikir-pikir, ga yakin deh bisa menyelesaikan rak kayu tersebut. Padahal, sungguh senang membayangkan bisa melakukan proses bertukang bareng anak-anak. Maka kemudian, kubelokkan kembali motor menghampiri penjual perabot kayu tersebut.

Kulihat dia masih duduk melamun di depan kuburan desa banjar Jaba Pura. Setelah coba berdiskusi, akhirnya kuputuskan mengajaknya ke rumah untuk mengukur space yang diperlukan bagi sebuah rak kayu. Dia mendorong gerobaknya ke arah pedagang es kelapa muda, menitipkannya di sana, lalu melompat naik ke boncengan. "Panjenengan mawon..." Demikian katanya, saat kutawarkan dia untuk mengendarai motor. Akhirnya... aku membonceng penjual perabot kayu tersebut ke rumah.

Tiba di rumah, ada suami dan anak2. Mereka sudah maklum, jika sang emak membonceng orang yang tidak dikenal, pria sekalipun. Aku pernah membonceng tukang bangunan di rumah kami, yang masih terhitung paman di kampung, saat dia ingin pulang kampung sejenak untuk melihat keluarga. Aku juga bahkan pernah membonceng seorang pemangku yang akan mengukur dan memeriksa sanggah dadia kami di Nyalian, Banjarangkan Klungkung dahulu.

Selesai bapak si penjual perabot kayu ini mengecek ukuran rak kayu yang pantas bagi perangkat komputer kami, dan juga sebuah rak lagi bagi tempat buku anak-anakku, kuserahkan se kotak bekal nasi bagi si bapak. Tak lupa, sebotol air putih baginya. Aku yakin, dia bahkan belum sempat makan siang, karena belum satupun dagangannya laku terjual, sedang dia sudah mendorong gerobaknya dari Peguyangan hingga tiba di Jalan Gunung Soputan.

Hmmm....
Aku sendiri membutuhkan waktu 30 menit dengan mengendarai motor untuk menempuh jarak tersebut. Apalagi si bapak, dengan gerobak se berat itu. Ahhh, sungguh kasihan. Betapa beratnya usaha untuk menafkahi keluarga.....

2 komentar:

  1. ya beban makin berat....tapi pemerintah bilang kemiskinan berkurang....sangat berbanding terbalik....pendapan perkapita naik...yang naik ya yang pada punya perusahaan,pejabat hartanya naik karena nilep duit rakyat tapi yg jualan seperti penjual kursi,asongan pekerja informal apa ikut naik?ada datanya gak?
    banyak orang dah gantung diri gara-gara gak bisa memenuhi kebutuhan dasar....ya itu makan,ngeri aja kalo sudah bayak rakyat yang lapar, pikiran bisa jadi pendek gak bisa berfikir jernih karena perut keroncongan,kejahatan pasti meningkat karena untuk memenuhi makan tersebut,sedih aja lihat penjual kursi duduk termenung di depan kuburan....takut aja kalo ikut jalan pintas...mengahiri hidup,
    kalo aku sebijak timbangan,sekuat superman sesakti sri rama....maka aku akan bawa parang yg panjang dan tajam ku penggal kepala para pengambil duit rakyat di depan alun alun kota,kuambil semua harta yang telah dia ambil dari rakyat ku belikan beras minyak goreng dan ikan sarden....kubagi kepada yang papa....kapan negri ini bisa memberi keadilan bagi semua?????

    BalasHapus
  2. ehm.....

    Trims atas tambahan info ini, Pak Anto...
    Sungguh sebuah mata rantai yang harus ditelaah lebih jauh dan dicari solusinya bersama....

    BalasHapus