Minggu, 24 Oktober 2010

Nangkil ke Tirta Empul

Minggu, 24 Oktober 2010, anak2 ini sudah berdiri di atas sepeda mereka masing2, di depan pagar rumahku, pukul 7.00. Padahal, masih waktu yg nikmat untuk melanjutkan mimpi tidurku. Namun.... tak sampai hati mengecewakan mereka. Maka segera kukeluarkan empat sepeda, melengkapi bagi mereka yang tidak memiliki sepeda. Lanjut menyusuri jalan gunung soputan, jalan mahendradatta selatan, jalan marlboro. Berbelok memasuki jalan gunung lumut, dan kembali ke perumahan kami.

Mereka membekali diri dengan minuman air putih, roti yang dibawa dari rumah, lengkap dengan topi dan jaket. Memutar roda perlahan, berteriak menjerit, tiap melihat hal yang menarik perhatian, dari sapi yang berkubang lumpur, babi yang beratnya hingga 150 kg, motor gede yang lewat melintasi jalan raya, botol minuman yang terjatuh dari tas plastik mereka, bahkan, tanaman mekar yang mereka lihat.

Namun kali ini, tidak bisa lama bersama mereka. Karena aku berjanji akan mengajak simbok keluar. Bukankah... tiap orang perlu beristirahat dan sesekali bepergian? Dan, kujanjikan mengajak Ayu, pengempu, yang masih terbilang cucu dari suami, untuk ke Tirta Empul, Tampak Siring.

Pukul 9.00 kami sudah tiba di perumahan kembali. Segera kumasukkan semua sepeda ke halaman, menyusunnya dengan rapi, dan bersiap berangkat kembali. Putra sulungku, Adi, mengijinkan kami menggunakan motornya, Yamaha Jupiter MX. Kumasukkan seperangkat kain sembahyang, baju ganti untuk anakku, banten dan canang, juga bokor mini. Tak lupa pula, dupa. Lalu kami bergegas berangkat, karena telah semakin siang hari ini, dengan mendung menggantung. Si bungsu duduk di tengah, simbok Ayu, di belakang, Kuletakkan perlengkapan kami di pangkuanku, Juga bekal untuk makan siang kami.

Mengarahkan motor menyusuri jalan Teuku Umar, berbelok ke Diponegoro, lalu Gatot Soebroto. Berbelok memotong arah lewat Penatih, tembus di jalan menuju ke Gianyar. Kutemui patung bayi raksasa di Sakah. Ehm.... ini penunjuk arah menuju ke arah Tampak Siring. Hujan mulai turun memerciki wajah. Satu demi satu... kian lama kian lebat kurang bersahabat. Aaarrgh. Terpaksa berhenti di salah satu warung di pinggir jalan dekat Pura Kebo Eedan ini. Kuturunkan satu demi satu tas plastik berisi banten dan canang juga bokor mini, tas berisi bekal makan siang, lalu tas berisi tiga jas hujan. Masing masing dari kami mengenakan jas hujan.. ya, kupersiapkan diri sebaaik mungkin sebelum sebuah keberangkatan, termasuk persiapan jas hujan jika sewaktu2 dibutuhkan.

Selesai mengenakan mantel, kami melanjutkan perjalanan. Dan... akhirnya tiba di ujung kaki Beliau... Rumah Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tirta Empul, tempat permandian dewata, dan persembahyangan. Hujan masih turun dengan gagahnya, membasahi bumi. Hmmm, sudah berkali ku hadir di sini, entah dengan rombongan, keluarga besar, atau para sahabat, bersama anak2ku, atau hanya sendiri. namun segala kerinduan itu, tidak pernah pupus. Untuk selalu memuja dan memuji Beliau, dalam setiap detak nafasku. Kali ini, kuhantarkan anak dan cucuku, bersama dengan hadirku, nangkil ke rumah Beliau.

Satu lagi!!! Kusadari, simbok tidak ingat mengambil kembali canang beserta bokor, juga bekal makan siang kami yang diletakkannya di tempat kami berteduh untuk kenakan jas hujan kami.....

Duh Gusti Allah. Jika ini adalah salah satu bentuk ujian dan cobaan dari Mu, memperlihatkan kebesaranMu, dengan memberikan ujian, berkali tersesat, salah jalan, hujan yang jatuh luruh menimpa kami, juga tanpa bekal makan siang, bahkan banten dan canang untuk dihaturkan memuja dan memujiMu di sini, tepat di ujung jemari kakiMu..... Maka kuterima, kuterima semua ini dengan lapang dada, berbesar hati, mencakupkan kedua tanganku. Terima kami ya Tuhan, terima kehadiran kami yang hina ini, jangan pernah berpaling dan tinggalkan kami semua...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar