Jumat, 22 Juli 2011

Megibung




Megibung.... Istilah yang simpel bagi uraian kita berkumpul bersama menikmati hidangan yang ada. Bagi kami, berarti mengumpulkan makanan yang ada, seringnya adalah bekal makan siang, yang kami bawa dari rumah, atau beli pada buRiyani, dan dinikmati bersama di ruang ADH. Tidak memandang yang berkasta tinggi, tanpa sendok, saling jumput dari piring sama, bertukar bekal.


Mungkin, hanya sekedar ketupat dengan sayur serombotan atau tahu dan tempe goreng. Lain waktu bisa nasi kuning dengan sejumput ayam suwir. Atau bahkan, nasi goreng dan telor ceplok. Bagi kami, ini adalah suatu bentuk keakraban yang semakin mendekatkan hubungan di antara sesama kami dan juga rekan lain.


Bagai Sadranan Ageng yang ada di Jawa, Megibung merupakan salah satu bentuk Kearifan Lokal yang Adiluhung, yang mendekatkan jalinan kemesraan masyarakat. Bahkan, Pak Jero Wacik berkali menjelaskan, Tradisi Megibung juga sebagai salah satu bentuk "Diplomasi Paon" yang sesungguhnya bisa dipergunakan untuk membantu mengantisipasi dan mengatasi konflik yang sering terjadi karena berbagai benturan kepentingan di tengah masyarakat kita.


Hmmmm, mungkin saja, ada baiknya, para pemimpin kita, bahkan, diri kita sendiri, bisa meniru dari Megibung, dalam upaya menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Lagipula, bukankah.... ada pepatah yang mengatakan "Cinta kasih bisa datang melalui perut"


Menurut Wayan Sunarta dalam

http://www.balebengong.net/topik/budaya/2009/01/22/megibung-tradisi-makan-bersama-penuh-aturan-ketat.html

Tradisi megibung dimulai dari tahun 1614 Caka (atau 1692 Masehi), ketika salah satu Raja Karangasem, I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, berperang menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sasak (Lombok). Di kala para prajurit istirahat makan, beliau membuat aturan makan bersama yang disebut megibung. Hingga saat ini tradisi megibung masih dilaksanakan di Karangasem dan Lombok, dan menjadi kebanggaan masyarakat setempat. Kini, megibung sering digelar berkaitan dengan berbagai jenis upacara adat dan agama (Hindu), seperti upacara potong gigi, otonan anak, pernikahan, ngaben, pemelaspasan, piodalan di Pura.


Tradisi megibung ini kemudian berkembang pula dalam berbagai ranah kehidupan, dengan berbagai bentuk, fungsi dan maknanya.


Megibung penuh dengan nilai-nilai kebersamaan. Dalam megibung secara umum tidak ada perbedaan jenis kelamin, kasta atau catur warna. Anggota satu sela, misalnya, bisa terdiri laki dan perempuan, atau campuran dari golongan brahmana, ksatrya, wasya dan sudra. Mereka bersama-sama menghadapi bhoga (hidangan) sebagai berkah Hyang Widhi. Nilai kebersamaan ini telah dicanangkan sejak jaman I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, dan sudah menjadi tradisi hingga kini, baik di Karangasem maupun Lombok.


“Orang-orang yang tidak terbiasa megibung atau yang fanatik dengan kasta akan susah mengikuti acara makan ini jika kebetulan diundang menghadiri upacara adat atau agama,” jelas Wayan Siwi.


Lalu, bagaimana jika ada orang yang berpenyakit menular atau orang yang dianggap bisa ngeleak (ilmu hitam) ikut megibung dalam satu sela? Wayan Siwi menjelaskan bahwa prinsip megibung adalah kebersamaan dan tidak membeda-bedakan orang. “Jadi orang-orang seperti itu sah-sah saja ikut megibung. Namun sekarang biasanya setiap sela diisi oleh orang-orang yang sudah saling mengenal,” kata Siwi.


Tradisi megibung tidak hanya dilakukan oleh orang Karangasem dan Lombok yang beragama Hindu. Komunitas Muslim di Karangasem, seperti Kecicang, Saren Jawa dan Tohpati, juga biasa menggelar acara megibung. Tentu lauk pauknya tidak menggunakan daging babi. Menurut Mudahar yang berasal dari Kecicang, megibung dalam komunitas Muslim biasanya berkaitan dengan acara pernikahan, sunatan, Lebaran, Maulud Nabi dan acara-acara bernafaskan Islam lainnya. “Kami juga biasa mengundang tetangga-tetangga Hindu-Bali untuk ikut megibung,” kata Mudahar.


Bahkan untuk melestarikan tradisi megibung, Bupati Karangasem, I Wayan Geredeg, pernah menggelar acara megibung massal pada 26 Desember 2006 di Taman Sukasada, Ujung, Karangasem. Megibung massal yang tercatat dalam rekor MURI itu diikuti oleh 20.520 orang dari berbagai lapisan dan komponen masyarakat di wilayah Karangasem dan ratusan undangan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar