Kamis, 05 Mei 2011

Nganten, Euiy......

Ponakanku nikah..... Berhubung suamiku sudah jadi penglingsir, orang yang dituakan, maka tentu kehadirannya sangat diharapkan dan diwajibkan. Maka, setelah berbagai pertimbangan yang rumit dan terkadang disertai tetek bengek lain pula, kami putuskan pulang kampung hari Senin, 2 Mei 2011, setelah kuselesaikan presentasi paperku di hadapan Prof. Dr. Ir. Sulistyawati, M.Si.

Hmmm, sungguh sebuah perjuangan, menjalani hari-hari harus kuliah, kerja, dan sekaligus menyame beraye. Namun bukankah hidup juga adalah sebuah proses bersosialisasi antara keluarga dan lingkungan dimanapun kita berada.... tetangga, sahabat, atasan, bawahan, dan orang lain yang tidak kita kenal sekalipun.

Pukul 11 wita, bersama suami dan Yudha, kami berangkat menyusuri jalan menuju ke Sepang dengan Yamaha Jupiter MX. Cuaca cerah sehabis hujan menemani 2 jam dan 30 menit perjalanan. Akhirnya kami tiba pukul 14 wita di Pangkung Singsing, Dusun Asah Badung, Desa Sepang Kelod, Kabupaten Buleleng. Ponakan suami, Nyoman Westra, menikah dengan Kadek Trimayani. Mereka sudah melakukan kawin lari 14 hari lalu, dan secara adat sudah pula diselesaikan dengan diskusi bersama pihak keluarga si Kadek. Hari Rabu, 3 Mei 2011, kami akan mengunjungi rumah pihak mempelai wanita untuk menyelesaikan dan menuntaskan seluruh rangkaian upacara, termasuk mepamitnya si Kadek dari sanggah keluarganya untuk pindah ke sanggah sang suaminya.

Rumah keluarga besar ini sudah berhias dengan segala perlengkapan, layaknya sebuah pesta pernikahan. Sekeha Santi, kelompok keluarga yang terdiri dari suami dan istri, hadir bersama untuk melakukan berbagai kegiatan terkait upacara. Para wanita ada yang mejejaitan, mengurus konsumsi, mempersiapkan berbagai keperluan yang akan dibawa keesokan harinya ke rumah sang wanita. Para pria mempersiapkan keperluan yang berkaitan dengan perlengkapan upacara, seperti pemangku, rompok untuk berkumpulnya para saksi pernikahan, tempat mengolah daging, sate, lauk pauk bagi sekeha santi dan para tamu yang bakal datang menyaksikan upacara. Pukul lima sore, seluruh anggota kelompok santi sudah pulang. Tinggal kami yang membersihkan dan mempersiapkan segala sesuatu bagi acara keesokan harinya. Kugelar karpet di teras rumah, kuambil beberapa bantal dari dalam kamar, dan kami mulai merebahkan diri bersiap untuk tidur. Ya, tidur di teras rumah, sambil memandang indahnya cahaya bintang di kejauhan, suara jangkrik di kebun kopi depan rumah, angin segar hawa pegunungan, gemericik air kali mengalir di bebatuan. Hmmm, sungguh suasana alam nan indah. Tanpa teve, radio dan berbagai alat elektronik lain yang biasa menjejali panca indra, inilah anugerah Sang Hyang Widhi yang patut selalu disyukuri.

Rabu, 4 Mei 2011. Pukul 1 dini hari, terjaga dan bersiap untuk pergi ke salon ayu di dapdap putih. Ah, hawa dingin menusuk tulang, hujan gerimis yang turun kemarin tentu melumat jalan setapak sepanjang 50 meter menuju rumah keluarga ini. Hmmm, kukenakan jaket dan menaikkan kerahnya menutupi leher. Mengendarai motor bersama Ketut, ponakan wanita yang telah memiliki 2 putra, sedang Nyoman membonceng istrinya. Tiba di gerbang desa, kami memarkir motor dan meloncat naik ke dalam mobil kijang putih yang telah siap menanti untuk membawa kami ke Dapdap Putih. Komang Awan mengendarai mobil perlahan, melintas lobang demi lobang yang menganga sepanjang 10 km. Entah apakah aku akan sanggup melewati jalan ini dengan mengendarai motor kembali. Hmmm. Sungguh berat perjuangan penduduk desa dan orang2 yang harus melintasinya. Entah apa saja sih yg dilakukan pemerintah dan para pengambil kebijaksanaan di atas sana....

Pukul 3.30. pengantin selesai didandani, dan telah menjadi pasangan raja dan ratu yang tampak sungguh sempurna dengan pakaian kebesarannya, Payas agung secara adat Bali. Kami kembali menyusuri jalan yang hancur lebur untuk menuju rumah di Pangkung Singsing. Aku dan ponakan, si Ketut, turun di gerbang desa, mengambil motor Jupiter MX kami, sedang sang pengantin diantar oleh Komang Awan hingga jalan tanjakan di pangkung bawak. Kami lalu melanjutkan perjalanan menapaki jalan berlumpur, meninting ujung kain agar tidak terciprat lumpur, tanpa ada cahaya penerangan memadai, hanya senter kecil bagi kami berempat.

Hehehe..... sungguh sebuah pengalaman unik, tinggal dan hidup di desa, beraktivitas dengan segala kegiatan yang ada, mencoba menerapkan berbagai aspek kehidupan yang kumampu, sungguh membutuhkan kemampuan dan kemauan yang teruji.

Ini lah yang disebut dengan Tri Hita Karana, sebuah bentuk Local Genius Wisdom.... Kearifan Lokal yang sungguh bersifat Adi Luhung, usaha manusia untuk berasimilasi dan beradaptasi dengan banyak aspek yang ada dalam kehidupannya. Melestarikan dan menyelaraskan hubungan dengan Tuhan, dengan segala bentuk dan cara memuja dan memuji Beliau. Menyelaraskan hubungan dengan sesama manusia, menjaga keharmonisan hubungan dengan para ponakan, para ipar, kerabat, tetangga sekitar. Menyelaraskan hubungan dengan alam dunia, semesta dan seisinya, menjaga agar tidak terjadi ketimpangan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar